Oleh Marizsa Herlina, Dosen Statistika FMIPA Unisba
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Saat ini, Indonesia sedang dihadapi dengan berbagai badai ekonomi, dan salah satunya datang dari Presiden AS Donald Trump melalui negosiasi reciprocal tariffs untuk barang impor dari kita dan QRIS muncul sebagai salah satu bahan negosiasi.
QRIS saat ini sudah bisa digunakan sampai Jepang, dan ada apa sebetulnya di balik QRIS sampai dari seluruh kekuatan Indonesia, QRIS yang dijadikan sebagai ‘komoditi’ negosiasi untuk AS?
Mari kita tilik dulu, ada apa dengan QRIS dan yang dianggap pesaingnya amerika, yaitu Visa dan Mastercard. Mari kita pahami dulu hubungan antara ketiganya: QRIS, Visa dan Mastercard.
QRIS adalah salah satu bentuk pembayaran non-cash, saingannya adalah kartu debit, kartu kredit dan lainnya. Visa dan mastercard sendiri, bukan bentuk pembayaran, namun mereka adalah jaringan pembayaran internasional (switching), yang dimiliki Amerika.
Jika Anda melihat kartu kredit atau debit anda, kartu tersebut memiliki logo bermacam-macam, umumnya ada visa, mastercard, Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan lainnya. Logo ini merupakan jaringan pembayaran yang dapat digunakan oleh kartu Anda.
GPN adalah sistem jaringan pembayaran yang isinya adalah beberapa switching milik Indonesia yang diregulasi oleh Bank Indonesia, diluncurkan di tahun 2017 lalu. Sebelum itu bagaimana? Ya kita menggunakan switching Visa, Mastercard, dan sebagainya.
Semenjak GPN diberlakukan, maka transaksi domestik didominasi GPN, selainnya termasuk Visa dan Mastercard dominan digunakan untuk transaksi internasional.
Sederhananya begini, QRIS, kartu debit, kartu kredit, adalah gerbang tol, mobil Anda adalah uang, dan switching adalah jalan tolnya. Jika Anda mau memasuki tol, maka Anda akan memilih gerbang tol yang paling dekat dengan tempat anda untuk sampai ke tujuan.
Jika Anda dari Jakarta ingin pergi ke Bandung, maka Anda akan memilih gerbang tol yang paling dekat dan nyaman untuk masuk ke Bandung. Harga jalan tol pun berbeda-beda.
Hal ini sama seperti ketika anda mau melakukan transaksi belanja, untuk pembayaran elektronik, pasti Anda memilih bentuk atau gerbang tol pembayaran yang paling mudah dan cocok untuk anda, bisa dengan QRIS, kartu kredit atau debit.
Tarif tol seperti tarif switching atau charge ke merchant akan berbeda tergantung gerbang pembayaran yang dipilih.
Dan nanti, uang Anda akan masuk ke dalam switching yaitu jalan tol uang tersebut untuk diterima si penjual. Begitulah kira-kira gambaran sistem pembayaran elektronik saat ini.
Ancaman untuk kartu kredit
Menurut data statista, semenjak 2014, Visa kehilangan 57,7 persen pangsa pasar menjadi 38,7 persen dan Mastercard turun dari 26,3 persen menjadi 24 persen. Munculnya QRIS di tahun 2019, diterima dengan sangat baik di Indonesia.
Dengan tarif QRIS untuk penjual 0,3-0,7 persen dibandingkan kartu kredit 1,5-3,5% yang tentunya lima kali lipat lebih mahal, QRIS lebih disukai. Mesin EDC untuk kartu kredit/debit pun tidak diperlukan, cukup menggunakan kertas untuk print kode QR penjual.
Pembeli pun sangat mudah menggunakan QRIS karena cukup dengan mempunyai smartphone, tidak perlu membawa kartu. Saat ini QRIS sudah mengalahkan kartu debit dengan 56,3 juta pengguna dan 38,1 juta UMKM.
Kemudahan pemakaian dan biaya yang lebih efisien tentunya mendongkrak popularitas QRIS untuk merchant dan pembeli, dan berpotensi besar menggeser kartu kredit ke depannya. Sehingga Visa dan Mastercard yang menempel di kartu tersebut jelas ikut tergerus.
Dan parahnya lagi, QRIS akan lebih jauh berekspansi ke ranah internasional dengan transaksi cross-border di beberapa negara Asia, di Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Laos, Brunei Darussalam, Jepang, dan Korea Selatan.
Karena itu, Amerika melihat potensi QRIS menjadi saingan utama kartu kredit/debit tak hanya di ranah lokal namun juga di internasional.
Bahayanya mengintai ekosistem data transaksi Indonesia
Upaya Amerika mengintervensi sistem pembayaran tentunya bukan karena pangsa pasar semata, karena sebenarnya tidak terlalu besar dampaknya ke visa dan mastercard, namun tentunya data transaksi di Indonesia.
Data ini sangat berharga, bayangkan jika ratusan juta transaksi tiap harinya di Indonesia ini dapat dipantau oleh Amerika sepenuhnya.
Tentunya Amerika mengetahui pergerakan transaksi ekonomi Indonesia secara real-time dan potensi daya beli kita sehingga jika kita berburuk sangka, akan ada saat di mana data ini disalahgunakan pihak lain, termasuk menggunakannya untuk mengintervensi Indonesia.
Jika kita tidak mempunyai GPN dan QRIS, dan Visa dan Mastercard berkuasa sepenuhnya di Indonesia, maka bukan tidak mungkin Amerika bisa memonopoli transaksi elektronik kita dan mematikan sistem pembayaran kita sendiri.
Seperti Google yang hengkang dari Huawei sehingga Huawei harus menyiapkan pengganti seluruh aplikasi Google di Huawei.
Ketika serangan asing mulai diluncurkan dan Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk melindungi dirinya karena waktunya sudah terlambat maka akan terjadi krisis yang tidak bisa dihindari dan akan sangat sulit bangkit karena tidak siap menghadapinya.
Kita harus mengecilkan risiko terjadinya krisis karena data kita yang dimiliki pihak asing. Karena itu, dibangunlah sistem pembayaran yang terintegrasi dan komprehensif yang dimiliki bangsa Indonesia milik Indonesia yang dapat melindungi Indonesia dari pihak asing.
Dari sini kita harus pahami, walaupun kita tahu betapa tawaran dari asing akan menggiurkan, jangan sampai kita terlena dan memberikan kepemilikan kita karena pada akhirnya kita yang akan dirugikan. QRIS is (adalah) kedaulatan data kita.
Maka mari kita sama-sama membangun Indonesia, dengan mindset bahwa kita bisa menjadi mandiri di kemudian hari dengan kekuatan kita sendiri.