REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Prancie akan melarang anak perempuan di bawah 15 tahun mengenakan jilbab di ruang publik. Hal ini diusulkan erakan politik Presiden Prancis Emmanuel Macron, Renaissance, telah mengusulkan langkah baru yang kontroversial.
Saran tersebut bertepatan dengan tanggapan pemerintah tingkat tinggi terhadap laporan baru mengenai pengaruh Islam politik di Perancis.
Usulan tersebut, yang dipimpin oleh mantan perdana menteri dan ketua partai Renaisans Gabriel Attal, diposisikan sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan dari ideologi Islam – khususnya Ikhwanul Muslimin – yang menurut pemerintah Prancis merusak nilai-nilai republik dan kohesi sosial.
Attal juga menyerukan pemberlakuan tindak pidana baru untuk menghukum orang tua yang memaksa anak perempuan mereka di bawah usia 18 tahun untuk mengenakan jilbab, lapor harian Prancis Le Parisien. Dalam pandangannya, “penutup kepala yang dikenakan oleh gadis-gadis muda sangat meremehkan kesetaraan gender dan perlindungan anak-anak.”
Usulan-usulan ini dikembangkan dalam konteks inisiatif pemerintah yang lebih luas yang dipimpin oleh Macron untuk melawan apa yang digambarkan oleh para pejabat sebagai kemajuan “Islamisme politik” yang perlahan namun strategis di Prancis.
Macron memimpin pertemuan tingkat tinggi dengan para menteri senior sebagai tanggapan atas temuan laporan yang dibuatnya pada tahun 2023, yang berfokus pada pengaruh Ikhwanul Muslimin – sebuah gerakan Islam transnasional yang awalnya didirikan di Mesir pada tahun 1928.
Laporan tersebut, yang salinannya dapat diakses oleh Reuters dan Agence France-Presse (AFP), memperingatkan bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan “ancaman terhadap kohesi nasional” dan berisiko “merusak tatanan masyarakat dan lembaga-lembaga republik.”
Meskipun pemerintah telah mengumumkan bahwa laporan lengkapnya tidak akan dipublikasikan, para pejabat menegaskan bahwa para menteri telah diinstruksikan untuk merumuskan langkah-langkah kebijakan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut menjelang pertemuan lanjutan yang dijadwalkan pada bulan Juni.
Menurut laporan tersebut, Ikhwanul Muslimin diduga mempromosikan visinya dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masyarakat seperti sekolah, organisasi keagamaan, asosiasi olahraga, dan LSM lokal.
Mereka menyebut hal ini sebagai pendekatan “bottom-up” yang bertujuan untuk secara bertahap mengubah prinsip-prinsip dasar Perancis, khususnya komitmennya terhadap sekularisme dan kesetaraan gender.