REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sedang melakukan penataan dan pemetaan pertanahan di Indonesia, termasuk penyelesaian kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) di kebun sawit. Pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia, Dr Sadino menilai, lahan yang mengantongi HGU memiliki kekuatan hukum yang kuat.
Sehingga, lahan itu tak bisa sembarangan disita atau disegel. Menurut Sadino, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan ketentuan kehutanan, HGU merupakan hak atas tanah yang ditetapkan Menteri ATR/BPN. Pun keberadaannya tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa melalui putusan pengadilan.
"HGU merupakan penetapan Menteri ATR/BPN yang jika sudah lebih dari empat tahun seorang menteri tidak bisa melakukan evaluasi, kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkan HGU sesuai asas hukum presumption lustae causa," kata Sadino dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Presumption lustae causa merupakan asas yang menyatakan, setiap keputusan negara dianggap sah kecuali ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkannya. Sebelumnya, Menteri (ATR/BPN), Nusron Wahid mengaku, ditugaskan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penataan dan pemetaan pertanahan dengan prinsip pemerataan, keadilan, dan kesinambungan ekonomi.
Berdasarkan Surat Edaran Sekjen Kementerian ATR/BPN No. 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, di Provinsi Riau terdapat 126 perusahaan yang telah memiliki izin usaha perkebunan (IUP), namun belum memiliki HGU. Nusron mengimbau jajarannya untuk segera mengkategorikan berdasarkan letaknya di dalam atau di luar kawasan hutan.
"Dilakukan identifikasi dari 126 perusahaan yang HGU-nya terbit lebih dulu daripada peta kawasan hutan mana saja. Mana yang HGU-nya terbit setelah ditetapkan kawasan hutan. Terkait MoU dengan Kementerian Kehutanan, jika HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang," ucap Nusron di Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau pada Kamis (24/04/2025).