REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat sebesar 32 persen menjadi salah satu isu strategis yang mempengaruhi kinerja eksport Indonesia. Abdul Rahman Farisi (ARF), Sekretaris Bidang Kebijakan Ekonomi DPP Partai Golkar, menilai bahwa dampak kebijakan tersebut tidak hanya bersifat langsung pada neraca perdagangan, tetapi juga memiliki efek domino terhadap perekonomian nasional secara lebih luas.
“Total eksport Indonesia pada tahun 2023 mencapai 258,77 miliar dolar AS, dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar 23,28 miliar dolar AS atau sekitar 9 persen. Meskipun AS merupakan pasar eksport ketiga terbesar bagi Indonesia, kenaikan tarif ini dapat menekan permintaan terhadap produk kita,” ujar ARF di Jakarta, Senin (7/4).
Ia menambahkan bahwa surplus perdagangan Indonesia dengan AS di tahun 2024 yang mencapai 16,8 miliar dolar AS justru dapat tersulut menjadi tantangan baru apabila dampak tarif ini dirasakan lebih signifikan di sektor-sektor andalan seperti pakaian jadi, alas kaki, dan alat elektronik.
ARF mengungkapkan bahwa ekspor produk tekstil dan barang tekstil mencapai nilai 11,6 miliar dolar AS, di mana 3,59 miliar dolar AS merupakan ekspor pakaian jadi yang menyumbang hingga 49 persen dari total ekspor pakaian jadi Indonesia ke pasar global. Selain itu, mesin dan alat elektronik menempati posisi kedua sebagai produk eksport andalan ke AS, dengan nilai yang dilaporkan mencapai 3,59 miliar dolar AS hingga 4,54 miliar dolar AS.
“Kenaikan tarif impor secara teoritis akan meningkatkan harga barang impor di AS, sehingga menurunkan permintaan terhadap produk Indonesia. Walaupun dalam praktiknya kontrak jangka panjang dapat menahan dampak tersebut, kontrak jangka pendek justru akan cepat melakukan penyesuaian, mencari alternatif yang lebih murah,” jelas ARF.
Ia menyoroti bahwa efek domino dari kebijakan tarif resiprokal ini berpotensi memicu perang harga dan proteksionisme yang merusak tatanan perdagangan bebas yang selama ini menguntungkan semua pihak, termasuk Amerika Serikat sendiri.
Meski demikian, ia menilai bahwa dampak langsung terhadap ekonomi Indonesia mungkin tidak terlalu parah mengingat ekspor hanya menyumbang sekitar 20-24 persen terhadap PDB.