Selasa 25 Mar 2025 04:37 WIB

DPC AAI Bandung dan FH UNPAR Temukan Isu Krusial dalam RUU HAP

RUU HAP harus menjadi KUHAP yang tidak transaksional

Rep: Muhammad Taufik/ Red: Sandy Ferdiana
Pimpinan DPC AAI Bandung dan Fakultas Hukum Unpar usai menyampaikan keterangan pers di Gedung 2 FH Unpar, Jalan Ciumbuleuit No 94, Kota Bandung, Senin (24/3/2025).
Foto: Muhammad Taufik/Republika
Pimpinan DPC AAI Bandung dan Fakultas Hukum Unpar usai menyampaikan keterangan pers di Gedung 2 FH Unpar, Jalan Ciumbuleuit No 94, Kota Bandung, Senin (24/3/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dalam upaya mendorong reformasi hukum acara pidana, DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung dan Fakultas Hukum Unpar menyodorkan sejumlah isu krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP). Di antaranya tentang konsep keadilan restoratif, keterbatasan akseptabilitas tersangka atau terdakwa, serta kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dalam perkara korupsi.

Demikian disampaikan DPC AAI Bandung dan Fakultas Hukum Unpar dalam jumpa pers yang berlangsung di Gedung 2 FH Unpar, Jalan Ciumbuleuit No 94, Kota Bandung, Senin (24/3/2025). Sejumlah hal krusial yang disampaikan dalam jumpa pers tersebut merupakan hasil diskusi kalangan akademisi dan praktisi hukum.

DPC AAI dan FH Unpar terpanggil untuk mengkritisi dan memberikan masukan terhadap RUU HAP yang tengah dibahas oleh DPR RI. Sebab, rancangan regulasi itu dinilai masih memiliki banyak celah permasalahan. Pertama terkait konsep keadilan restoratif yang belum sepenuhnya terakomodasi secara filosofis dalam RUU HAP.

Lalu, persoalan keterbatasan akses tersangka atau terdakwa serta penasihat hukumnya dalam proses peradilan pidana, yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan dengan kewenangan penyidik atau penuntut umum. Tidak luput juga masalah kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam penyidikan, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi.

Menurut Ketua Tim Pengkaji RUU HAP Dr R Budi Prastowo SH M.Hum, regulasi yang baru tidak boleh sampai melemahkan standar perlindungan hukum dibandingkan KUHAP yang berlaku saat ini. RUU HAP, tutur dia, seharusnya membawa perbaikan.

Oleh karena itu, sambung Budi, kajian mendalam terkait RUU HAP diperlukan untuk memastikan aspek keadilan dan hak asasi manusia tetap menjadi prioritas utama. ‘’Aspek keadilan dan HAM harus diutamakan,’’ ujarnya.

Ketua DPC AAI Bandung Aldis Sandvika SH MH mengatakan, AAI bersama FH Unpar tengah mengkaji beberapa poin di dalam RUU HAP. Kata dia, sedikitnya ada tiga hal krusial dalam RUU HAP.

Yakni tentang konsep keadilan restoratif, keterbatasan akseptabilitas tersangka atau terdakwa, serta kewenangan aparat penegak hukum dalam perkara korupsi. ‘’Kami telah melakukan FGD bersama Unpar, terkait poin-poin yang perlu dikaji bersama, " ujarnya

Wakil Ketua DPC AAI Bandung Widianto Soekarnen menambahkan, harapannya RUU HAP yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif menjadi KUHAP yang tidak transaksional. ‘’AAI bersama Unpar membuat kajian ini sebagai masukan untuk pemerintahan,’’ tuturnya.

Sebagai tindak lanjut, tutur dia, AAI dan FH Unpar akan mengadakan diskusi publik pada 9 April 2025. Forum ini akan menjadi ruang bagi akademisi, praktisi hukum, media, serta masyarakat umum untuk berpartisipasi dalam pembahasan yang akan menentukan arah masa depan sistem peradilan pidana Indonesia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement