REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Indonesia merupakan negara rawan bencana yang sering mengalami berbagai bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi. Hal ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada di jalur pertemuan lempeng tektonik dan iklim tropis. Ini mengakibatkan sebagian besar wilayah Indonesia berisiko tinggi mengalami bencana alam (Indeks Risiko Bencana BNPB, 2021). Bahkan World Risk Index (WRI) memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang paling berisiko terkena bencana alam.
Saat ini, kita sedang menghadapi berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh ketidakpastian iklim yang membuat ancaman bencana alam semakin meningkat. Untuk itu, membangun komunitas Indonesia yang tangguh bencana menjadi sebuah upaya penting yang harus segera dilakukan bersama-sama. Bersamaan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia Tahun 2025, BNPB menginisiasi lokakarya nasional yang bertemakan Akselerasi Pemberdayaan Perempuan dan Inklusivitas dalam Pengurangan Risiko Bencana.
Lokakarya tersebut berfokus kepada aspek kesetaraan gender, inklusivitas, dan inklusi sosial dalam manajemen risiko bencana. Dengan mengkaji kesenjangan yang ada dan menampilkan praktik-praktik baik yang bisa direplikasikan, agar lebih dapat memberdayakan perempuan dan kelompok terpinggirkan untuk menjadi pemimpin sehingga menciptakan upaya penanggulangan bencana yang lebih adil dan efektif.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Raditya Jati menjelaskan saat membuka lokakarya, bahwa perempuan memainkan peran penting di saat bencana, karena selain tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai care giver dalam keluarga, mereka juga sering kali terlibat kegiatan sosial seperti membantu di dapur umum dan pos kesehatan.
“Dalam keadaan bencana, peran dan beban perempuan justru bertambah. Perempuan bukan saja sebagai menjadi objek yang harus dilindungi, tetapi juga menjadi subjek yang berperan aktif sebagai agent of change. Oleh karena itu, perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam semua kebijakan dan tindakan pengurangan bencana untuk mengurangi kerentanan perempuan dalam bencana. Sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal peningkatan kapasitas.,” ungkap Raditya.
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki mengungkapkan, dalam penanggulangan bencana peran perempuan sangat penting, karena data korban bencana terbesar adalah perempuan dan anak. Selama ini, pemahaman tentang kebencanaan belum menyentuh perempuan dan juga penyandang disabilitas. Karena itu, perlu pendekatan gender untuk menguatkan peran perempuan dan penyandang disabilitas dalam melakukan pengurangan risiko bencana.
“Perempuan berperan penting dalam penanggulangan bencana, baik sebagai korban, pelaku, maupun pemimpin. Perempuan dapat berperan dalam berbagai fase bencana, mulai dari pra-bencana, saat bencana, hingga pasca-bencana. Begitu juga dengan kelompok penyandang disabilitas, mereka perlu mendapatkan hal yang sama dalam advokasi tentang kebencanaan,” kata Maliki di acara Lokakarya Nasional Akselerasi Pemberdayaan Perempuan dan Inklusivitas dalam Pengurangan Risiko Bencana, di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Maliki menambahkan, penanganan bencana tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama antara korban laki-laki, perempuan, orang tua, orang sakit, disabilitas. Kata dia, penanganan bencana harus ada responsif gender karena data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki.
“Perempuan dan penyandang disabilitas adalah kelompok rentan dan marjinal yang akan lebih terdampak perubahan iklim dan risiko bencana sebab mereka memiliki akses yang terbatas dan social exclusion yang mengurangi jaring pengaman,” kata Maliki.
Maliki menambahkan, akses layanan kesiapsiagaan yang inklusif memastikan bahwa pelatihan pra-bencana, infrastruktur siaga bencana, dan informasi kebencanaan dapat diakses dan diterima oleh kelompok rentan, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas. Penguatan jaring pengaman dan rehabilitasi inklusif perempuan dan penyandang disabilitas akan membutuhkan jaring pengaman dan skema rehabilitasi paska bencana yang inklusif dan berbasis gender.
Di kesempatan yang sama, Simon Flores, Counsellor Development Effectiveness dan Humanitarian Kedutaan Besar Australia di Jakarta mengatakan, bahwa semua orang memiliki peran dalam melindungi anggota masyarakat kita yang paling rentan, termasuk anak-anak, orang tua, wanita, dan penyandang disabilitas. Simon juga menyampaikan apresiasinya untuk penyelenggaran lokakarya yang merefleksikan komitmen nyata berbagai pihak dalam mewujudkan ketahanan bencana yang berkelanjutan.
Lokakarya ini merupakan hasil kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dan Australia melalui program bilateral, SIAP SIAGA. Salah satu fokus utama dari Program SIAP SIAGA adalah meningkatkan integrasi kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial dalam kerangka penanggulangan bencana di Indonesia, untuk menciptakan ketangguhan yang berkelanjutan, sehingga nyawa rakyat Indonesia dapat diselamatkan saat bencana, dan memastikan tidak ada yang tertinggal.