REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ragimun menilai logam mulia emas yang akhir-akhir ini terus mengalami lonjakan harga jual, dikarenakan masyarakat menunggu kepastian atau wait and see stabilitas iklim usaha di Tanah Air. Ragimun menyatakan saat ini masyarakat Indonesia sedang dalam fase perubahan pola investasi yang condong untuk mencari instrumen tabungan yang lebih aman dan stabil.
"Karena perubahan pola investasi yang mereka anggap lebih aman dan stabil dibanding dengan investasi yang tidak nyaman pada investasi yang lebih berisiko seperti saham yang saat ini yang terus turun," ujarnya, Kamis (20/3/2025).
Dikatakan dia, meningkatnya harga emas juga karena masyarakat menganggap instrumen investasi ini mudah untuk dicairkan, serta meski digunakan sebagai tabungan jangka panjang, harga jual logam mulia akan tetap naik. Ragimun menyatakan, guna memperkuat pilihan instrumen investasi lain selain logam mulia, pemerintah mesti memberikan sinyal positif melalui kebijakan yang mendorong pertumbuhan di sektor riil, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap ekonomi nasional lewat kinerja BUMN.
Sementara itu, Ketua Kelompok Riset Knowledge Based Economy Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN Bahtiar Rifai menyatakan harga jual emas saat ini melonjak hingga tiga kali lipat dibandingkan pada saat masa pandemi Covid-19 (2019--2023). Adapun pada awal pandemi harga emas di kisaran Rp780.000 per gram, namun kini pada 20 Maret 2025 harga jual logam mulia tersebut menembus angka Rp1.774.000 per gram.
Menurut Rifai ada beberapa faktor yang memengaruhi lonjakan harga jual emas, antara lain inflasi yang tak sebanding dengan suku bunga, serta adanya kelesuan perekonomian.
"Masih lebih aman pegang emas dibanding pegang uang atau deposito," katanya pula.
