Rabu 19 Mar 2025 22:19 WIB

Ekonomi Jadi Sorotan, Pengamat: Rakyat Berhak dapat Program DMO Minyakita Berlanjut

Pengamat menilai pemerintah harus lanjutkan program minyakita.

Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri.
Foto: Dokpri
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga minyak goreng di Indonesia belakangan ini terus cenderung mengalami lonjakan yang signifikan, termasuk selama bulan Ramadan ini. Masyarakat, termasuk pelaku usaha kuliner kerap mengeluhkan kenaikan harga ini karena berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga maupun biaya produksi usaha mereka.

Fenomena ini setiap tahun terus berulang yang membuat beban hidup rakyat semakin berat. Harga minyak goreng di sejumlah minimarket dan pasar tradisional saat ini cukup tinggi. Lonjakan harga ini terjadi menyusul mulai naiknya harga minyak sawit di dalam negeri di tengah ketidakpastian ekonomi.

Baca Juga

Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri menyoroti di tengah semakin lesunya daya beli masyarakat akibat himpitan ekonomi, masyarakat berhak mendapat minyak goreng dengan harga yang terjangkau melalui program mintak goreng merek MinyaKita. Hal tersebut sebagai wujud keadilan bagi rakyat.

“Secara teori, pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan kembali Harga Eceran Tertinggi (HET) harga MinyaKita ke Rp14.000 per liter, tetapi hal tersebut membutuhkan kebijakan intervensi yang lebih kuat, baik dalam bentuk subsidi tambahan, penguatan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), maupun pengurangan biaya produksi melalui insentif fiskal,” kata Freesca dalam keterangannya kepada awak media di Jakarta, Rabu (19/3/2025).

Namun, dia menegaskan, jika langkah ini tidak diimbangi dengan reformasi distribusi dan pengawasan yang lebih ketat, maka risiko kelangkaan dan spekulasi akan tetap tinggi. Kebijakan harga minyak goreng harus dilakukan secara hati-hati, mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli masyarakat, keberlanjutan industri, dan stabilitas fiskal negara.

Menurut Freesca, jika pemerintah ingin menjadikan MinyaKita tetap terjangkau bagi masyarakat, maka pendekatan terbaik bukan hanya menurunkan HET, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok, menekan biaya produksi, serta memperbaiki mekanisme distribusi agar minyak goreng benar-benar tersedia bagi semua kalangan.

Di sisi lain dia juga mencermati industri minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia dikuasai segelintir perusahaan besar yang mengendalikan seluruh rantai pasok, dari perkebunan hingga distribusi. “Struktur pasar oligopoli ini memungkinkan mereka memanipulasi harga, sementara petani kecil terpinggirkan dengan harga jual rendah,” kata Freesca.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement