REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Yanto Santosa menyoroti, inti permasalahan industri sawit adalah acuan peta yang dipakai untuk melakukan penertiban kawasan hutan. Kebijakan satu peta (one map policy) yang dicanangkan pemerintah zaman dulu, itu memang harus dipaksakan diselesaikan.
"Sehingga acuannya satu peta, semua sepakat. Kalau sekarang, kan Kementerian Kehutanan punya peta, Kementerian Transmigrasi punya peta. Ini nggak bener," kata Yanto di Jakarta, Ahad (9/3/2025).
Menurut Yanto, tanaman sawit sudah ada sebelum Undang-Undang Kehutanan lahir. Tanaman sawit sudah mulai marak ditanam sejak sebelum 1999-an. Karena itu, kurang bijaksana jika penertiban kawasan hutan dilakukan dengan peta kawasan hutan versi Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang belum dikukuhkan secara nasional.
"Harusnya tim ini (Satgas Penertiban Kawasan Hutan) bergerak dengan mengacu kepada peta hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan atau ditetapkan. Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang belum dikukuhkan, belum ditetapkan," jelasnya.
Yanto menilai, ppengukuhan kawasan hutan merupakan proses penting dalam menetapkan status legal suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan idealnya dilakukan dengan mengundang semua pemangku kepentingan yang terkait atua yang berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Sehingga, penetapan kawasan hutan tidak dilakukan secara sepihak seperti yang dilakukan saat ini.
Data Kemenhut menyebut, dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan. Untuk itu, Tim Satgas harus melakukan inventarisasi secara cermat karena lahan sawit yang masuk kawasan hutan terpencar di berbagai wilayah di Tanah Air.
Konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan wajib dilakukan untuk memastikan transparansi dan menghindari konflik sosial. Yanto sepakat dengan semangat munculnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang secara filosofis memiliki niat baik untuk menertibkan kawasan hutan.
Hanya saja, regulasi yang ada di dalam Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah bagus karena sudah berisi adanya sanksi denda. "Ini kan tiba-tiba muncul Perpres Nomor 5 dikatakan akan diambil alih. Jadi menurut saya solusinya untuk menengahi ini di perpres ini tidak perlu disebutkan hukumannya. Karena sudah terang benderang tertuang dalam UU Cipta Kerja," ucap Yanto.