Jumat 27 Dec 2024 21:39 WIB

Permohonan Maaf Menteri Hukum Usai Polemik ‘Denda Damai’ untuk Para Koruptor

Denda damai hanya berlaku pada jenis tindak pidana bidang ekonomi.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Muhammad Hafil
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Foto: Antara/Fathur Rochman
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Menteri Hukum Supratman Andi Agtas meminta maaf atas polemik terkait ‘denda damai’ sebagai jalur konstitusional pemberian pengampunan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi. Supratman sadar pandangannya tentang ‘denda damai’ hanya berlaku pada jenis tindak pidana bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, maupun keuangan negara. Meskipun dikatakan dia, dalam tindak pidana korupsi unsur tentang kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara, pun ada. 

Kesamaan unsur tersebut, menurut Supratman memberikan alternatif jalur  penyelesaian yang sama. Yaitu melalui ‘denda damai’. “Saya meluruskan menyangkut soal ‘denda damai’. Yang saya maksudkan itu adalah mengkompare, atau membandingkan karena undang-undang tindak pidana korupsi, atau juga undang-undang Kejaksaan Agung, khususnya terhadap tindak pidana ekonomi, keduanya itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara yang merugikan perekonomian negara,” begitu ujar Supratman saat konfrensi pers di Kementerian Hukum di Jakarta, Jumat (27/12/2024). 

Baca Juga

Tetapi, dikatakan dia, dua jenis tindak pidana tersebut diatur dalam dua perundangan yang berbeda. ’Denda damai’ yang dijadikan rujukannya mengacu pada Undang-undang (UU) 11/2021 tentang Kejaksaan Agung (Kejagung). Beleid tersebut memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung membuka ruang hukum di luar pengadilan untuk penyelesaian tindak pidana di bidang perekonomian. Sementara dalam tindak pidana korupsi, mengacu pada UU 31/1999 dan 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan UU Tipikor tak menyediakan mekanisme penyelesaian nonyudisial.

“Jadi sekali lagi, terkait dengan isu ‘denda damai’ itu adalah hanya mengkompare menyangkut soal penyelesaian suatu tindak pidana di luar pengadilan. Itu saja intinya. Kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, saya menyatakan mohon maaf. Tetapi saya katakan, itu adalah hanya contoh atau komparasi terhadap penyelesaian tindak pidana yang terkait dengan yang merugikan ekonomi negara, di bidang tindak pidana ekonomi, dengan tindak pidana korupsi,” begitu ujar Supratman. “Bahwa ada proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang merugikan perekonomian negara, yang itu juga merugikan keuangan negara, diselesaikan di luar pengadilan,” ujar Supratman.

Polemik tentang ‘denda damai’ bagi koruptor adalah rentetan dari objek kritik banyak kalangan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan amnesti dan abolisi terhadap 44 ribu narapidana. Pemberian ampunan, dan penghapusan pidana tersebut belakangan melebar karena dikhawatirkan banyak pihak bakal diberikan juga kepada para koruptor, atau narapidana tindak pidana korupsi. Kekhawatiran tersebut menguat setelah Presiden Prabowo dari Kairo, Mesir berpidato akan memberikan maaf dan ampunan terhadap koruptor yang bersedia mengembalikan hasil malingnya ke kas negara, Rabu (18/12/2024).

Pidato Presiden Prabowo tersebut diterjemahkan jajaran pembantunya di Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan dengan menguatkan dalil konstitusional seorang kepala negara dalam pemberian amnesti, abolisi, grasi, maupun rehabilitasi terhadap narapidana. Supratman menerangkan, dalil konstitusional kepala negara tersebut terang adanya dalam Pasal 14 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. ”Disampaikan dalam Undang-undang Dasar (UUD) kita, memberikan hak pemberian amnesti, abolisi, ataupun grasi, dan rehabilitasi kepada Bapak Presiden untuk semua jenis tindak pidana,” begitu kata Supratman.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement