REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, menyampaikan rekomendasi penting kepada pemerintah Indonesia dalam Konferensi Internasional Kebijakan Luar Negeri (CIPF) 2024 yang berlangsung di Jakarta. Dalam pidatonya, Djalal menekankan pentingnya Indonesia sebagai kekuatan menengah di kancah internasional dan memberikan panduan strategis untuk memperkuat posisi tersebut.
Djalal memulai dengan menjelaskan konsep kekuatan menengah, yang diibaratkan seperti petinju kelas menengah. "Saat ini, ada lebih banyak kekuatan menengah daripada sebelumnya dalam sejarah, dan jumlah ini terus meningkat. Setidaknya ada satu kekuatan menengah di setiap wilayah dunia," ujarnya, Sabtu (30/11/2024).
Ia menyoroti negara-negara seperti Arab Saudi di Timur Tengah kini memiliki kekuatan dan ambisi yang lebih besar, serta beberapa kekuatan menengah dari Selatan global yang memiliki ekonomi lebih besar daripada beberapa negara G7.
Dalam konteks Indonesia, Dino menggarisbawahi keberhasilan negara dalam menjaga stabilitas G20 di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. "Kita harus memberi tepuk tangan untuk ini," katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kekuatan menengah menghadapi tantangan besar, termasuk kemampuan untuk menetapkan agenda internasional dan meredakan persaingan yang ada. Djalal menekankan bahwa Indonesia harus berusaha menjadi kekuatan menengah yang berperan penting dengan aliansi dinamis.
"Kekuatan menengah yang berperan penting dapat memberikan kepemimpinan yang berdampak, memobilisasi orang lain untuk kebaikan bersama, memperkuat tatanan regional, dan memajukan agenda global," jelasnya.
Ia menambahkan penting untuk memahami perbedaan antara non-blok dan non-alignment, di mana non-blok berarti tidak terlibat dalam aliansi militer, tetapi tetap terlibat dalam berbagai aliansi diplomatik.
Dalam pidatonya, Dino juga menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dengan rakyat. "Kebijakan luar negeri yang dipahami dan didukung oleh rakyat akan berjalan jauh. Sebelum dunia dapat memahami kita, rakyat kita harus memahami kita," tegasnya.
Ia mengajak pemerintah untuk menjelaskan kebijakan luar negeri kepada masyarakat agar tidak ada keraguan. Djalal juga mencatat prinsip kebijakan luar negeri Indonesia 'tidak memiliki musuh dan teman bagi semua'. Namun, ia mengingatkan agar prinsip ini tidak diterjemahkan menjadi kebijakan luar negeri yang berusaha menyenangkan semua pihak.
"Menyenangkan semua orang adalah resep untuk kegagalan dan bencana," katanya. Ia menekankan bahwa pencapaian dalam kebijakan luar negeri sering kali dicapai melalui perjuangan dan negosiasi yang keras.
Lebih lanjut, Dino mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia sering kali menghadapi masalah ketika didorong oleh kesombongan politik. Ia mengutip pengalaman sejarah Indonesia, termasuk saat menarik diri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menciptakan forum baru yang gagal karena kurangnya dukungan internasional. "Kita harus memeriksa ego kita di pintu," ujarnya.
Dino juga menekankan pentingnya otonomi strategis, yang mencakup kemandirian berpikir dan kebebasan bertindak. "Ini adalah aset terbesar kita. Tidak ada yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan atau dipikirkan," katanya. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam praktiknya, otonomi strategis sering kali terancam oleh tekanan dan godaan dari luar.
Dalam konteks regional, Djalal menegaskan bahwa Asia Tenggara adalah rumah dan benteng Indonesia. "Satu-satunya tempat di dunia di mana wajar bagi Indonesia untuk diharapkan memimpin adalah di Asia Tenggara," ujarnya.
Ia merekomendasikan agar Presiden Prabowo mengunjungi semua 10 negara Asia Tenggara, termasuk Timor-Leste, dalam tiga hingga enam bulan ke depan. "Ini adalah waktu yang tepat bagi Presiden Prabowo untuk bertemu dengan jajaran baru pemimpin Asia Tenggara," tambahnya.
Djalal menutup pidatonya dengan harapan bahwa Indonesia akan menjadi lebih terlihat dan aktif secara internasional di bawah kepemimpinan baru. "Ada harapan tinggi bahwa Indonesia akan menjadi jauh lebih terlihat dan aktif secara internasional dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya," katanya. Ia berharap Presiden Prabowo dan Menteri Luar Negeri Sugiono sukses dalam menulis kebijakan luar negeri yang baru.
Konferensi Internasional Foreign Policy 2024 dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk diplomat, akademisi, dan praktisi kebijakan luar negeri, yang semuanya berkomitmen untuk mendiskusikan masa depan kebijakan luar negeri Indonesia dan peran negara dalam tatanan dunia yang semakin kompleks.