Selasa 26 Nov 2024 20:29 WIB

DigiBridge Harumkan Asia di Geneva Challenge

Proyek diajukan bertujuan menjembatani kesenjangan literasi digital kalangan pemuda.

Tim DigiBridge, yang terdiri dari lima mahasiswa dari berbagai negara, telah berhasil mewakili Asia di ajang Geneva Challenge 2024.
Foto: Dok istimewa
Tim DigiBridge, yang terdiri dari lima mahasiswa dari berbagai negara, telah berhasil mewakili Asia di ajang Geneva Challenge 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Tim DigiBridge, yang terdiri dari lima mahasiswa dari berbagai negara, telah berhasil mewakili Asia di ajang Geneva Challenge 2024. Ajang tersebut merupakan sebuah kompetisi global yang diselenggarakan oleh The Graduate Institute di Geneva, Swiss.

Tahun ini, kompetisi yang telah berlangsung sejak 2014 itu mengangkat tema "The Challenges of Youth Empowerment" dan diikuti oleh sekitar 90 tim dari lebih dari 100 universitas di seluruh dunia.

Baca Juga

Tim DigiBridge terdiri dari Alland Dharmawan (Indonesia, Ketua Tim; Yonsei University), Bunly Ek (Kamboja, Yonsei University), Julie Dioc (Prancis, Yonsei University), Nastassja Amling (Jerman, Yonsei University), dan Seonha Choi (Korea Selatan, Seoul National University).

Alland mengatakan, proyek yang mereka ajukan bertujuan untuk menjembatani kesenjangan literasi digital di kalangan pemuda, khususnya di daerah rural. Salah satu gagasan utama tim, kata dia, merancang kurikulum digital yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik, seperti e-commerce, pemasaran digital, dan keuangan. 

“Kurikulum ini dirancang untuk memberikan keterampilan praktis yang relevan dengan mata pencaharian pemuda di pedesaan, berbeda dari pelajaran IT konvensional yang sering kali hanya berfokus pada pengoperasian perangkat lunak dasar,” jelas Ketua Tim DigiBridige, Alland Dharmawan kepada Republika, Senin (25/11/2024). 

Sebagai bagian dari proposalnya, tim Alland menggunakan studi kasus seorang pemuda Kamboja yang bergantung pada toko kelontong untuk penghidupannya. Ketika pandemi COVID-19 melanda, ia kesulitan untuk beradaptasi dengan penjualan daring akibat kurangnya literasi digital. Masalah serupa pun diamati banyak dialami pemuda di daerah rural yang tidak memiliki akses ke pendidikan digital yang relevan.

“Kami percaya kurikulum ini tidak hanya membantu pemuda di pedesaan untuk meningkatkan keterampilan digital mereka, tetapi juga memberikan mereka peluang untuk berkembang secara ekonomi di era digital,” ujarnya.

Ia menambahkan proyek ini dirancang agar dapat diadopsi oleh pemerintah, bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menyediakan infrastruktur dan dukungan tambahan. 

Proses seleksi Geneva Challenge dimulai dengan pengiriman proposal, dilanjutkan dengan penilaian akademik dan seleksi oleh Dewan Juri yang terdiri dari tokoh-tokoh global, seperti Michael Møller (mantan Sekjen Kantor PBB Jenewa) dan Agi Veres (Direktur UNDP di Jenewa). Hanya satu tim dari setiap benua yang diundang untuk presentasi langsung di Geneva. 

Tim DigiBridge akan memaparkan proyek mereka di hadapan para juri pada akhir November 2024. Kompetisi ini tidak hanya menilai kelayakan proyek, tetapi juga potensi dampak, kemampuan untuk direplikasi di negara lain, dan keberlanjutan dalam jangka panjang. Dukungan terhadap Geneva Challenge di masa lalu diberikan oleh tokoh global seperti almarhum Kofi Annan, yang percaya pada pentingnya pemberdayaan generasi muda.

Dengan visi besar meningkatkan literasi digital untuk pemuda di daerah rural, DigiBridge berharap dapat memenangkan kompetisi ini dan membawa perubahan nyata yang berkelanjutan bagi generasi muda di seluruh dunia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement