REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO X yang juga orang penting di pemerintahan Trump, Elon Musk. dilaporkan bertemu dengan duta besar Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Senin. Pertemuan itu dilakukan sebelum Donald Trump menunjuk pendiri SpaceX tersebut sebagai salah satu kepala Departemen Efisiensi Pemerintah yang baru dibentuk.
"Pertemuan tersebut merupakan diskusi tentang cara meredakan ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat," demikian menurut dua pejabat Iran yang berbicara dengan New York Times.
Salah satu pejabat Iran mengatakan bahwa eksekutif Tesla meminta pertemuan tersebut dan duta besar memilih lokasinya.
Seperti dilaporkan the Guardian, saat Trump bersiap untuk mengatasi konflik di Ukraina dan Timur Tengah, Musk, orang terkaya di dunia, telah membantu dalam diskusi dengan pejabat asing sehingga menjadikannya sebagai warga sipil paling berpengaruh di negara itu.
Awal bulan ini, Musk dilaporkan tampil sebagai tamu dalam panggilan telepon antara Trump dan presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang berterima kasih kepada Musk atas satelit yang telah ia berikan kepada Ukraina melalui perusahaannya, Starlink.
"Ia sekarang melibatkan Iran," kata Sina Toossi, seorang peneliti senior di Center for International Policy, tentang Musk.
"Dan Iran tidak pernah melibatkan Amerika dalam negosiasi langsung sejak sebelum Trump meninggalkan kesepakatan nuklir, jadi ini bisa menjadi masalah yang sangat besar."
Hubungan Trump dengan Iran tidak mulus. Selama masa jabatannya terdahulu, ia memutuskan AS akan menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, yang dibuat pada tahun 2015 selama masa jabatan Barack Obama. Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang berat terhadap Iran.
Selama masa jabatannya, Trump memerintahkan serangan AS yang menewaskan Mayor Jenderal Qassim Soleimani, komandan pasukan elit Quds dari Korps Garda Revolusi Islam pada Januari 2020. Pada bulan September, intelijen yang diberikan kepada staf kampanye Trump mengungkapkan bahwa Iran berusaha membunuhnya.
"Apakah Amerika dapat melakukan negosiasi yang berhasil dengan Iran di bawah Trump benar-benar akan bergantung pada Musk atau siapa pun yang akan memimpin negosiasi ini, dan tim yang berdedikasi pada proses negosiasi, yang bersedia melakukan kerja keras yang diperlukan dalam proses diplomatik dan hubungan internasional yang sebenarnya," kata Toossi menambahkan.
Namun yang memperumit masalah adalah dukungan kuat Trump untuk Israel. Dukungan itu dapat membuka jalan bagi perang habis-habisan antara Israel dan Iran begitu ia menjadi presiden. Israel telah berperang dengan organisasi yang didukung Iran, Hamas dan Hizbullah sejak serangan 7 Oktober tahun lalu.
Seyed Abbas Araghchi, menteri luar negeri Iran, mengatakan dalam sebuah posting X pada hari Kamis, "Perbedaan dapat diselesaikan melalui kerja sama dan dialog. Kami sepakat untuk melanjutkan dengan keberanian dan niat baik. Iran tidak pernah meninggalkan meja perundingan mengenai program nuklir damainya.”
Toossi mengatakan bahwa, meskipun Musk mungkin lebih pragmatis dalam isu-isu yang terkait dengan kebijakan luar negeri, hal itu masih belum cukup untuk memperbaiki hubungan antara Washington dan Teheran.
“Kita berada di ambang perang regional habis-habisan,” katanya.
“Untuk memulai kembali proses ini, Trump akan membutuhkan pakar teknis mengenai isu nuklir, isu regional, untuk memiliki kelompok kerja, untuk memiliki lawan bicara yang jujur, dan negosiator yang beritikad baik.”