REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Melawan peringatan komunitas internasional, parlemen Israel alias Knesset mensahkan beleid yang secara efektif melarang badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) beroperasi pada Senin malam. Jika Israel menjalankan hal tersebut, bencana yang dialami warga Palestina bakal kian parah.
Dalam pemungutan pada Senin malam, Knesset melarang badan tersebut, yang beroperasi di Israel berdasarkan perjanjian tahun 1967, melakukan “kegiatan apa pun” atau memberikan layanan apa pun di Israel, termasuk wilayah Yerusalem timur yang dijajah, serta Gaza dan wilayah Tepi Barat.
Anggota parlemen Israel juga memilih untuk menyatakan UNRWA sebagai kelompok teror, yang secara efektif melarang interaksi langsung antara badan PBB tersebut dan negara Israel. Secara keseluruhan, undang-undang tersebut akan menyebabkan penutupan markas besar UNRWA di Yerusalem timur dan secara efektif akan memblokir pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui Rafah.
Pemutusan hubungan diplomatik akan menghalangi Israel mengeluarkan izin masuk dan izin kerja kepada staf asing Unrwa dan menghalangi koordinasi dengan militer Israel untuk mengizinkan pengiriman bantuan. Lebih dari 1,9 juta warga Palestina mengungsi dan Jalur Gaza menghadapi kekurangan makanan, air, dan obat-obatan.
Parlemen Israel telah memberi tenggat pelarangan penuh UNRWA dalam jangka waktu 90 hari. Hal ini bertentangan dengan tekanan AS dan internasional lainnya untuk mempertahankan penyedia bantuan kemanusiaan terbesar bagi penduduk Palestina di negara tersebut.
“Sangat keterlaluan jika ada negara anggota PBB yang berupaya membubarkan badan PBB yang juga merupakan pihak yang memberikan respons terbesar dalam operasi kemanusiaan di Gaza,” Juliette Touma, juru bicara Unrwa, mengatakan dalam sebuah pernyataan dilansir the Guardian.
Unrwa didirikan pada 1949 untuk memberikan bantuan kepada ratusan ribu pengungsi Palestina yang terusir oleh penjajahan Israel 1948. Badan tersebut sekarang memberikan layanan kepada jutaan warga Palestina di Israel dan negara-negara sekitarnya, banyak di antara mereka yang masih tidak memiliki kewarganegaraan dan tinggal di kamp-kamp pengungsi. UNRWA memiliki 13.000 staf di Jalur Gaza.
Undang-undang pelarangan UNRWA, yang disponsori bersama oleh anggota partai sayap kanan Yisrael Beiteinu dan Likud, menyusul tuduhan Israel bahwa anggota staf Unrwa di Gaza terlibat dalam serangan pejuang Palestina pada 7 Oktober yang menyebabkan kematian lebih dari 1.200 warga Israel dan penculikan ratusan lainnya.
Israel menanggapi serangan Hamas dengan operasi militer di Jalur Gaza yang telah memicu krisis kemanusiaan, yang menyebabkan kematian lebih dari 43.000 warga sipil. PBB meluncurkan penyelidikan atas klaim Israel dan sebagai akibatnya memecat sembilan staf UNRWA. Tuduhan tersebut juga menyebabkan AS dan UE menghentikan sementara pendanaan untuk badan tersebut.
UNRWA dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya menuduh Israel sangat membatasi aliran bantuan ke Gaza, di mana hampir seluruh penduduknya yang berjumlah 2,4 juta jiwa telah mengungsi setidaknya satu kali sejak Oktober tahun lalu.
Pasukan Israel terus menutup perlintasan perbatasan yang penting, termasuk penyeberangan Rafah, melarang masuknya bantuan kemanusiaan termasuk makanan, obat-obatan, dan bahan bakar yang sangat dibutuhkan memasuki wilayah yang dibombardir. Di utara Gaza, pengepungan total selama lebih dari 20 hari telah menyebabkan rumah sakit di ambang kehancuran dan sekitar 400.000 orang kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar.
UNRWA telah menderita kerugian besar sejak tahun lalu, dengan sedikitnya 233 anggota timnya gugur dan dua pertiga fasilitas badan tersebut di Gaza rusak atau hancur sejak perang dimulai. Penasihat media UNRWA, Adnan Abu Hasna, mengatakan keputusan Israel untuk melarang organisasi tersebut berarti runtuhnya proses kemanusiaan secara keseluruhan.
Berbicara kepada Aljazirah, Hasna menggambarkan keputusan tersebut sebagai eskalasi yang “belum pernah terjadi sebelumnya”.
Badan PBB tersebut telah memberikan bantuan dan bantuan penting di seluruh wilayah Palestina – termasuk Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki, serta kepada pengungsi Palestina di Yordania, Lebanon, dan Suriah – selama lebih dari tujuh dekade.
Selama bertahun-tahun, hal ini telah menjadi sasaran kritik keras Israel, yang meningkat setelah dimulainya serangan mematikan Israel di Jalur Gaza yang terkepung. Kepresidenan Palestina mengecam larangan tersebut dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan tindakan tersebut.
“Kami menolak dan mengutuk undang-undang tersebut… Kami tidak akan membiarkan hal ini… Hasil suara yang sangat banyak dari apa yang disebut Knesset [parlemen Israel] menunjukkan transformasi Israel menjadi negara fasis,” Nabil Abu Rudeineh, juru bicara kepresidenan di Ramallah, mengatakan dalam sebuah pernyataan. sebuah pernyataan.
Dalam sebuah pernyataan, Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, menyebut pemungutan suara tersebut “belum pernah terjadi sebelumnya” dan mengatakan hal itu “menjadi preseden yang berbahaya”. “Undang-undang ini hanya akan memperparah penderitaan rakyat Palestina, terutama di Gaza dimana rakyatnya telah melalui neraka selama lebih dari satu tahun,” katanya.
Keir Starmer, perdana menteri, mengatakan Inggris “sangat prihatin” bahwa RUU tersebut telah disahkan. “Undang-undang ini berisiko membuat pekerjaan penting UNRWA untuk rakyat Palestina menjadi mustahil, membahayakan seluruh respons kemanusiaan internasional di Gaza dan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang penting di Tepi Barat.
“Situasi kemanusiaan di Gaza tidak bisa diterima. Kita perlu segera melakukan gencatan senjata, pembebasan sandera, dan peningkatan bantuan yang signifikan ke Gaza. Berdasarkan kewajiban internasionalnya, Israel harus memastikan bantuan yang cukup menjangkau warga sipil di Gaza.”
Berbicara pada briefing harian, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan Washington “sangat prihatin” dengan pemungutan suara tersebut dan telah mendesak Israel untuk menjeda penerapan undang-undang tersebut, yang dapat “memiliki implikasi berdasarkan hukum AS”.
Undang-undang AS melarang Washington memberikan bantuan militer kepada negara-negara yang membatasi bantuan kemanusiaan AS, meskipun undang-undang tersebut jarang ditegakkan. Dalam pengarahannya, Miller mengatakan bahwa UNRWA memiliki peran yang “tak tergantikan” dalam memberikan bantuan ke Jalur Gaza.