Kamis 10 Oct 2024 06:11 WIB

Solusi Nelayan Mampu Jamin Ketersediaan BBM dan Tingkatkan Kesejahteraan

Program Solusi Nelayan merupakan murni inovasi yang lahir dari internal Kemenkop.

Cover buku berjudul Solusi Nelayan Mengurai Paradoks Si Miskin di Negara Maritim.
Foto: Republika.co.id
Cover buku berjudul Solusi Nelayan Mengurai Paradoks Si Miskin di Negara Maritim.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Indonesia dikenal sebagai negara maritim karena dua pertiga wilayahnya terdiri lautan. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya laut melimpah, di antaranya perikanan, rumput laut, terumbu karang, garam, minyak, gas, dan berbagai mineral lain yang berada di dasar laut. Sayangnya, semua potensi itu belum bisa diolah maksimal untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Bahkan yang membuat miris, wilayah pesisir di Indonesia identik sebagai kantong-kantong kemiskinan di Indonesia. Sehingga jika pemerintah serius ingin mengentaskan kemiskinan maka yang pertama bisa diusahakan adalah membantu kelompok nelayan agar terbebas dari himpitan kesusahan.

Jika membedah strata lapisan nelayan, setidaknya ada tiga kelompok berdasar kepemilikan alat tangkap, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Pada umumnya, kemiskinan dialami oleh nelayan perorangan dan nelayan buruh, bahkan bila dibandingkan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan buruh dan nelayan tradisional ini berada di lapisan sosial yang paling miskin.

Sebenarnya, masalah yang menaungi nelayan sepanjang tahun terdengar klise, di antaranya kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) hingga kondisi kapal untuk melaut. Persoalan akses BBM mendapat sorotan tajam lantaran dikeluhkan semua nelayan di Indonesia. Padahal, alokasi BBM mencapai 60 persen dari total biaya yang dibutuhkan setiap kali melaut.

Karena itu, program Solar untuk Koperasi (Solusi) Nelayan diharapkan bisa menjadi solusi untuk pemenuhan BBM nelayan, dengan pembangunan pom bensin mini di desa-desa nelayan atau tempat terdekat dengan permukiman nelayan. Sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh untuk mendapatkan BBM bersubidi. Persoalan keterbatasan akses membuat nelayan lebih banyak melaut dengan membeli BBM ke pengecer dengan harga lebih mahal, seperti sebelumnya sudah tidak terjadi lagi.

Program tersebut lahir setelah kelompok nelayan sangat terpukul dengan kebijakan kenaikan harga BBM. Sejak pemerintah menaikkan harga BBM medio September 2022, berdampak ketahanan nelayan menjadi limbung. Hal itu lantaran kenaikan harga BBM semakin membebani biaya produksi nelayan. Sementara itu, ketimpangan distribusi BBM bersubsidi untuk nelayan di sejumlah daerah belum teratasi.

Dampaknya, terjadi kenaikan tingkat kemiskinan kronis di kalangan nelayan. Kenyataan itu diperkuat temuan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, yang menyatakan, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19 persen. Dari 10,86 juta jiwa jumlah kemiskinan nasional, sekitar 12,5 persen atau 1,3 juta jiwa ada di wilayah pantai.

Tidak tinggal diam, Kementerian Koperasi dan UKM meresponsnya dengan mencoba mencarikan solusi konkret agar masalah yang dihadapi nelayan bisa teratasi. Salah satu langkah yang ditempuh Kementerian adalah menggandeng PT Pertamina Patra Niaga dan pemangku kepentingan terkait dengan menghadirkan program Solar untuk Koperasi (Solusi) Nelayan.

Program yang dieksekusi pada pengujung 2022 ini terbukti sukses mendekatkan akses BBM bersubsidi kepada nelayan melalui pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) yang dikelola oleh koperasi. Menteri Teten Masduki menjelaskan, selama ini BBM didapatkan nelayan dari pengecer sehingga harga jadi lebih mahal. Karena itu, Solusi Nelayan diwujudkan melalu pendirian titik SPBU mini di sejumlah desa nelayan atau terdekat dengan permukiman pesisir sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh demi mendapatkan BBM.

Adapun bagi Pertamina, selama ini mereka menganggap kebutuhan BBM nelayan sebenarnya banyak, tetapi alokasinya kecil. Selama para nelayan masih perorangan, sudah kapalnya kecil dan terbatas, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan akses BBM. Hal itu yang membuat Pertamina sulit mengantarkan BBM ke satu per satu kapal kecil.

"Agar lebih efisien bila para nelayan ini dibuat menjadi satu rantai ekosistem bisnis, yaitu ketika mereka bersatu suatu perkumpulan atau koperasi sehingga bisa tahu siapa anggota-anggotanya dan berapa kebutuhan BBM buat mereka melaut," kata Direktur Pemasaran Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra dalam penjelasannya dalam buku ini.

Berdayakan koperasi

Kementerian Koperasi dan UKM pun menggandeng koperasi dalam menjalankan program Solusi Nelayan. Koperasi yang ditunjuk adalah koperasi di sektor perikanan, berdasarkan rekam jejak dan kemampuan finansial. Sedangkan Pertamina Patra Niaga mendukung proses kemitraan lembaga penyalur untuk nelayan meliputi proses identifikasi, evaluasi, standarisasi pembangunan, pengoperasian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Misalnya, KUD Mino Saroyo di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kedua koperasi yang diberi kepercayaan tersebut sukses mengelola SPBUN dan mampu menjamin pasokan dan ketersediaan BBM bersubsidi sampai ke anggotanya.

Koperasi Mino Saroyo dipilih karena merupakan koperasi yang sudah ditetapkan sebagai role model koperasi perikanan modern sejak 2021 oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Saat ini, koperasi tersebut memiliki 8.441 anggota dan sudah menerapkan digitalisasi.

Sebenarnya, ada tujuh daerah percontohan yang dijadikan uji coba program Solusi Nelayan. Selain dua lokasi itu, lima daerah lain yang menjalankan program Solusi Nelayan berlangsung di Aceh Besar, Deli Serdang, Pekalongan, Surabaya, dan Lombok Timur. SPBUN yang beroperasi benar-benar dikelola koperasi nelayan dengan konsep business to busines (B to B), bukan hibah atau project oriented.

Mengapa banyak koperasi tertarik dengan program Solusi Nelayan? Jawabannya karena program ini dijalankan murni menggunakan mekanisme bisnis yang menguntungkan antara koperasi nelayan dan Pertamina. Jika kedua belah pihak mendapatkan manfaat maka tentu nelayan mendapatkan benefit berupa akses BBM subsidi dan Pertamina bisa tepat sasaran dalam penyalurannya dan penerimanya memang orang yang berhak. Ujungnya, kesejahteraan nelayan bisa tercipta dalam jangka panjang.

Meski begitu, program ini bukannya tanpa hambatan di lapangan. Koperasi yang ditunjuk juga mengeluhkan kekurangan modal lantaran pembangunan SPBUN membutuhkan biaya besar sampai lebih Rp 500 juta. Ketua Koperasi Tunas Usaha Sejahtera, Aceh Besar, M Hatta, misalnya, menyebut, modal besar masih harus mengurus izin, sewa lahan, bikin modular, dan membayar pegawai agar SPBUN benar-benar beroperasi.

Jika saja ada skema mencicil maka hal itu sangat membantu koperasi dalam menjalankan bisnis ini. Di sinilah peran Kementerian ditunggu secara konkret untuk memfasilitasi koperasi bisa mendapatkan pinjaman dari bank. 

Secara keseluruhan, program Solusi Nelayan bisa berjalan baik di daerah percontohan, karena koperasi mendapatkan pendampingan dan pengawasan. Program solutif tersebut diproyeksikan bisa terwujud dengan menggandeng 250 koperasi pada 2025. Sementara sepanjang 2024, target yang dicanangkan sebanyak 150 koperasi. Program ini juga wajib diawasi PT Pertamina Patra Niaga, karena memang sasarannya adalah nelayan pemilik berkapasitas di bawah 30 gross ton (GT).

Yang menarik, program Solusi Nelayan merupakan murni inovasi yang lahir dari internal Kementerian Koperasi dan UKM. Tidak ada studi banding ke luar negeri karena memang bukan program yang didesain sejak awal. Menteri Teten Masduki memang sengaja mendorong jajarannya melakukan berbagai perubahan struktur sehingga menguatkan mindset bahwa koperasi harus menjadi solusi di berbagai sektor usaha.

Hanya saja, yang luput dari buku ini adalah tidak dimasukkannya kisah inspiratif nelayan yang terbantu dengan program Solusi Nelayan. Hanya dijelaskan saja dari sisi pengurus koperasi penerima manfaat. Padahal, jika saja ada kisah hidup nelayan yang kesejahetaraannya meningkat setelah merasakan program yang diinisiasi Kementerian Koperasi dan UKM maka bisa membuat bobot buku ini semakin menarik untuk dibaca masyarakat dan dijadikan teladan nelayan lainnya.

Nah, kisah kolaborasi koperasi bersama Pertamina difasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM membantu nelayan tertuang lengkap dalam buku 'Solusi Nelayan Mengurai Paradoks Si Miskin di Negara Maritim'. Dengan melahap isi buku ini, pembaca diharapkan mendapatkan memberikan gambaran terkait upaya kolaboratif pemerintah dalam memperkuat ekonomi nelayan melalui program Solusi Nelayan. Dan, itu terbukti berhasil!

Judul: Solusi Nelayan Mengurai Paradoks Si Miskin di Negara Maritim

Penulis: Musa Sanjaya dkk

Penerbit: Kementerian Koperasi dan UKM RI

Tahun: Cetakan I, 2024

Tebal: 140 halaman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement