REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA— Rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat berdampak pada tingkat kesadaran dan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut warga kepulauan Seribu. Faktor lain adalah jumlah dokter gigi di Kepulauan Seribu yang masih tergolong sedikit, yaitu hanya terdiri dari dua dokter gigi tanpa dokter gigi spesialis.
“Selain karena keterbatasan ekonomi masyarakat, permasalahan gigi dan mulut juga disebabkan minimnya pelayanan kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter gigi atau perawat gigi. Beberapa puskesmas juga belum memiliki sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan dan edukasi kesehatan gigi dan mulut,” ujar Sri Angky Soekanto, Dosen Departemen Biologi Oral Kedokteran Gigi (FKG) UI saat memimpin sejumlah dokter gigi memberikan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada murid sekolah dasar di Kepulauan Seribu.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kepulauan Seribu 2023, dilaporkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% dengan persentase penduduk miskin 9,36% dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,32%. Berdasarkan hasil Survei Status Gigi Indonesia (SSGI) Kementrian Kesehatan tahun 2022, Kepulauan Seribu menduduki angka prevalensi stunting tertinggi di DKI Jakarta, yaitu 20,50%. Berdasarkan laporan profil Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2022) kunjungan puskesmas di Kepulauan Seribu tergolong paling rendah yaitu sebesar 28.770 dibandingkan dengan daerah-daerah lain di DKI Jakarta.
Hasil Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa 73,08% mengalami permasalahan kesehatan gigi dan mulut, dan hanya 19,27% yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi.
Angky mengatakan angka-angka di atas mendorong dirinya mengarahkan dana hibah dari Universitas Indonesia (UI) untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat terutama pada anak- anak SD melalui pemberian edukasi dan pelayanan pemeriksaan serta tindakan sederhana di Kepulauan Seribu, tepatnya di Pulau Kelapa 11-12.
“Karena itu, pemberdayaan kader dan kolaborasi dengan organisasi International College of Dentists (ICD) untuk melakukan program promotif dan preventif menjadi salah satu solusi penyelenggaraan kesehatan gigi dan mulut,” ujarnya,.
Secara umum, Dekan FKG UI 2004-2008 ini mendorong peningkatan kesehatan gigi dan mulut harus difokuskan pada daerah tertinggal dan terbelakang di Indonesia. Karena pada lokasi-lokasi tersebut, umumnya ditemukan prevalensi karies yang tinggi. Terlebih lagi dalam kondisi pasca pandemi COVID-19, Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) belum dapat berjalan sebagaimana mestinya karena sekolah diliburkan.
Kesehatan gigi dan mulut masih menjadi masalah bagi sebagian besar anak-anak
Indonesia. Proporsi mayoritas permasalahan gigi dan mulut berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2018 adalah karies, dengan prevalensi sebesar
45,3%. Selain itu, didapatkan pula fakta bahwa prevalensi karies pada anak usia 5-9 tahun
adalah sebesar 92,6%. Sementara, pada usia remaja awal (10-14 tahun), prevalensi karies
adalah 73,4%.
“Ini menunjukkan bahwa peningkatan kesehatan gigi dan mulut menjadi suatu hal yang mendesak bukan hanya di Kepulauan Seribu tapi juga seluruh daerah tertinggal di Indonesai, karena itu Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memiliki target Indonesia bebas karies pada tahun 2030,” ujarnya.
Angky menyakini keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk dari suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui puskesmas dan daya beli masyarakat akan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi dan kalori, mampu mempunyai pendidikan dan memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang pada gilirannya akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.