REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Kementerian Dalam Negeri Sudan mengatakan tahun ini sudah 68 orang tewas akibat hujan deras yang lebih kuat dari biasanya. Masyarakat negara yang dilanda perang itu semakin menderita saat tempat penampungan sementara ambruk dan digenangi air banjir.
Belum ada tanda-tanda perang antara pasukan pemerintah dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) akan mereda meski sudah ada rencana pembicaraan pada pekan ini. Perang di Sudan mengakibatkan krisis pengungsi terbesar di dunia.
Rintangan administratif, tantangan keamanan, dan kekurangan dana membuat pengiriman bantuan di banyak wilayah negara ini menjadi sulit, bahkan mustahil. Hujan yang merupakan yang terbesar sejak tahun 2019, berdampak pada daerah-daerah di bagian barat, utara, dan timur negara itu.
Sebanyak 10,7 juta orang mengungsi di kamp-kamp, ditampung di rumah-rumah dan sekolah-sekolah, atau terdampar di alam terbuka. Termasuk di antaranya adalah Kamp Zamzam yang berpopulasi 500 ribu orang dan dilanda kelaparan di Darfur Utara, serta negara bagian Kassala dan al-Gedaref di sebelah timur di mana ratusan ribu orang melarikan diri dari serangan RSF.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan lebih dari 44.000 orang mengungsi akibat hujan yang turun sejak tanggal 1 Juni di seluruh Sudan. "Keluarga-keluarga kehilangan apa yang tersisa, dan infrastruktur penting telah hanyut, sehingga mengganggu bantuan kemanusiaan yang sangat penting," ujar Mohamed Refaat, kepala misi IOM Sudan, pada Rabu (13/8/2024).
Ia menambahkan 73 ribu orang di 11 negara bagian dari 18 negara bagian di Sudan secara keseluruhan terkena dampaknya. Kementerian Dalam Negeri mengatakan hujan deras merusak sebagai atau seluruh bagian 12 ribu rumah dan sekitar 198.000 hektare lahan pertanian
Meskipun jumlahnya hanya mencerminkan daerah-daerah di sebelah utara dan timur negara itu yang dikuasai tentara pemerintah.
Sementara itu dikutip dari Xinhua, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan sejak bulan Juli banjir menyebabkan 27.000 orang mengungsi sejak bulan Juni. Kota El Fasher, Darfur Utara yang diperebutkan merupakan salah satu kota yang paling parah terkena dampaknya.
OCHA mengatakan ratusan rumah telah rusak atau hancur di kamp pengungsi Abu Shouk di El Fasher. Dua pekan yang lalu, Komite Peninjau Kelaparan (IPC) memperingatkan pengungsi di Abu Shouk akan mengalami kelaparan.
"Banjir menambah penderitaan masyarakat, karena pertempuran sengit di dalam dan sekitar El Fasher dalam beberapa hari terakhir terus membuat masyarakat yang sudah rentan menjadi terlantar dan sangat membatasi akses mereka ke layanan dasar," kata OCHA.
"Akses ke kamp Abu Shouk dan daerah lain di El Fasher masih sangat terbatas karena pertempuran dan banjir, sehingga menantang kemampuan pekerja bantuan untuk meningkatkan upaya bantuan di daerah-daerah yang paling parah terkena dampaknya," tambah OCHA.