Jumat 26 Jul 2024 06:02 WIB

Sikapi Perubahan Iklim, UAI Bikin Desa Binaan Petani di Cianjur

Pertambahan penduduk membuat lahan pertanian terpaksa dikonversi menjadi permukiman.

Tim Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) UAI di Kampung Cibeureum, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Foto: Republika.co.id
Tim Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) UAI di Kampung Cibeureum, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, CIANJUR -- Dampak perubahan iklim telah dirasakan kalangan petani di Kampung Cibeureum, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kemarau panjang pada 2023 telah menyulitkan petani memperoleh air untuk pertanian.

Ditambah gencarnya penyemprotan dengan pestisida oleh petani disebabkan serangan hama penyakit terhadap sayuran, seperti cabai merah, buncis, pakcoy, bawang daun, tomat, dan kol. Kondisi itu perlu mendapat perhatian, mengingat desa tersebut termasuk pemasok sayuran untuk wilayah sekitarnya dan DKI Jakarta.

Menghadapi kesulitan yang dirasakan petani, Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menggandeng Desa Sukanagalih dengan membentuk desa binaan. Surat kesepakatan dan perjanjian kerja sama diteken oleh Rektor UAI Prof Dr Asep Saefuddin dan Kepala Desa Sukanagalih Dudung Djaenuddin di lokasi beberapa waktu lalu. Momen itu juga disaksikan Camat Pacet Yudha Azwar.

Tim Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) UAI yang diketuai oleh Dr Nita Noriko telah menemukan solusi untuk membantu petani melalui berbagai pendekatan disiplin ilmu, seperti bilogi, ilmu sosial, dan psikologi. Nita pun menggandeng Yunus Effendi, Risa Swandari Wijihastuti, Arief Pambudi, Alma Mandjusri, dan Liana Mailani dari lintas disiplin ilmu UAI.

"Akar permasalahan di samping perubahan iklim adalah pertambahan penduduk yang membutuhkan permukiman sehingga lahan pertanian terpaksa dikonversi. Petani membuka lahan di perbukitan yang semula didominasi tanaman seperti bambu. Dengan sistem perakarannya yang khas tanaman bambu dapat menahan dan menyimpan air," kata Nita dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Menurut dia, permasalahan lain adalah kurangnya keinginan petani untuk mengakses informasi perkembangan sistem pertanian terkini. Hal itu dilatarbelakangi mayoritas pendidikan para petani yang dominan lulusan SD, bahkan ada yang tidak mengenyam bangku sekolah.

"Pembukaan lahan di perbukitan menyebabkan erosi yang menggerus lapisan tanah yang kaya nutrisi. Selain itu kandungan air tanah yang semakin berkurang akibat semakin berkurangnya tanaman bambu menyebabkan tanah mengalami penurunan kesuburan. Hal ini yang mendorong petani memerlukan pupuk dengan volume besar, untuk mendukung pertumbuhan tanaman," ujar Nita.

Menurut Nita, UAI sudah memberi solusi sejak 2022 dan pada 2024, pembuatan satu embung dan satu kolam dilanjutkan. Sehingga sampai saat ini, ada 10 hektare lahan pertanian dapat diselamatkan dari kelangkaan air. 

"Masyarakat juga ditekankan untuk menerapkan sistem pertanian multicropping untuk mengurangi serangan hama penyakit. Efektivitas penggunaan pupuk dan air dilakukan dengan penggunaan sensor pH, N, P, K dan kelembaban tanah. Ke depan model smart farming mendukung pertanian berkelanjutan akan diterapkan di Kampung Cibeureum," ucap Nita.

Manfaat yang dirasakan oleh petani dengan adanya PKM adalah aktivitas pertanian yang masih dapat dilakukan walaupun pada musim kemarau. Pun terjadi peningkatan produktivitas tanaman tomat, cabai merah, buncis, pakcoy, daun bawang dan jagung hingga 50 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement