Ahad 21 Jul 2024 22:47 WIB

Rhenald Kasali: Kebijakan Tarif Antidumping Bisa Picu Perang Dagang dan PHK

Rhenald Kasali dorong pemerintah keluarkan kebijakan antidumping.

Rhenald Kasali
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Rhenald Kasali

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali mengingatkan desakan sejumlah pengusaha kepada pemerintah untuk menerapkan Bea Masuk Antidumping hingga 200% berpotensi memicu terjadinya perang dagang yang justru akan merugikan Indonesia.

“Langkah tersebut bisa memicu perang dagang yang kompleks. Kalau ini yang terjadi, alih-alih mengatasi PHK, malah akan menimbulkan PHK yang lebih besar karena akan memicu kenaikan harga di dalam negeri,” ujarnya pekan ini.

Baca Juga

Sebelumnya sejumlah pelaku industri mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri keuangan (PMK) untuk bea masuk anti dumping (BMAD) atas keramik impor asal China. Pelaku usaha menilai PMK itu mendesak diterbitkan segera untuk menyelamatkan industri dalam negeri.

Rentetan PHK yang menimpa sektor manufaktur telah membuat sekelompok pengusaha “menekan” Menteri Perdagangan agar menerapkan Bea Masuk Antidumping sampai 200%.

“Donald Trump saja sangat berhati-hati. Kalau terpilih lagi, Trump berjanji akan mengenakan tarif 10% pada semua barang dari China. Trump sudah belajar, ketika dia kenakan hambatan masuk semasa pemerintahannya, malah terjadi inflasi. Segala produk manufaktur mulai dari handuk, masker kesehatan, keramik, sanitasi sampai pakaian anak-anak menghilang dari supermarket saat Trump mengeksekusi BMAD tahun 2019. Rakyat AS Ketika itu marah besar,” ujar Prof Rhenald Kasali.

”AS menjadi bulan-bulanan dunia karena banyak negara sudah mampu membuat barang dengan harga murah. Sedangkan negara-negara yang tidak efisien melayani kepentingan kelompok proteksionis dan mengakibatkan harga barang yang sama harus dibayar rakyatnya menjadi lebih mahal dua kali lipat,” lanjutnya.

Kementerian Perdagangan dikabarkan sedang mempertimbangkan usulan Komite Antidumping agar mengenakan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 200% pada 7 kategori industri. Jika hal itu jadi dijalankan, pendiri Rumah Perubahan ini mengkhawatirkan situasi tersebut justru akan memicu gelombang PHK baru, kenaikan harga barang, dan menghambat pertumbuhan.

Tekstil Paling Terganggu, Keramik Beda Kasus

Dikabarkan sebanyak 21 pabrik tekstil tutup, ribuan pekerja terkena PHK, 31 lainnya menyusul. Situasi itu terjadi karena banjir impor ilegal.

“Yang terjadi saat ini, mengikuti langkah industri tekstil, asosiasi kosmetik, alat elektronik dan keramik telah ikut meminta perlindungan. Padahal, masing-masing berbeda case-nya,” ujar Prof Rhenald.

Ia mempertanyakan mengapa asosiasi hanya berbicara soal dumping dan pabriknya.

"Asosiasi harus berfikir secara lebih strategis. Yang berantakan dan merusak mereka adalah struktur industri, keberadaan bahan baku dan penolong yang tidak didukung pemerintah, Bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan permesinan terlalu tinggi, mahalnya biaya modal, harga gas dan energi yang kalah dengan negara lain.” ujarnya.

Menurut dia, pada industri tekstil kasus yang terjadi sudah jelas. Namun, di industri keramik, data-data yang diajukan asosiasi perlu diverifikasi kembali karena banyak yang tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

“Benar, tekstil kita terpukul. Tetapi industri elektronik dan keramik harus membangun struktur industri yang kuat dan pemerintah wajib memberikan insentif yang menarik.”

Ia mencontohkan, produk keramik lokal (yang disebut red body-HS Code 6907.23) sebetulnya sulit disaingi barang impor kendati adanya persaingan dengan barang dari China. Sebabnya, Indonesia merupakan penghasil tanah liat yang kaya. Jadi, keramik red body Indonesia jika diberi insentif akan semakin bagus.

Sedangkan China fokus pada keramik Porselen (HS code 6907.21) karena dibuat dari kaolin yang berlimpah di negara mereka dan untuk pasar gen z menengah ke atas.

“Persaingan dan market-nya berbeda. Yang mau diproteksi yang mana? Tujuannya proteksi apa? Apakah hanya ingin ikut perang dagang?” ujarnya.

Rhenald mengingatkan agar pelaku usaha di Indonesia tidak sedikit-sedikit mencari jalan pintas, seakan-akan tarif antidumping ratusan persen menjadi solusi terbaik. Padahal situasi ini bisa memicu pembalasan pada kategori industri lain yang menjadi komoditas ekspor Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement