Kamis 04 Jul 2024 08:23 WIB

Pengurus PPP Gugat Ambang Batas Parlemen ke MK

Karena PPP tidak lolos ke Senayan, seorang pengurus PPP gugat UU Pemilu ke MK.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Foto: Republika.co.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bernama Didi Apriadi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menggugat terkait aturan parliamentary threshold (PT) sebesar empat persen.

Didi selaku pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, M Malik Ibrohim, mempersoalkan norma yang menyatakan "Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".

Baca Juga

Malik menjelaskan, pemohon merasa telah dirugikan atas berlakunya pasal tersebut. Pasalnya, PPP pada Pemilu DPR 2024 meraih 5.878.777 suara dari 84 daerah pemilihan atau sekitar dengan 3,87 persen. Sayangnya, suara itu harus hangus sehingga PPP tidak lolos Senayan dan anggota DPR yang lolos dinyatakan gugur.

"Keberlakuan Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menyebabkan partai Pemohon kehilangan hak untuk memperoleh kursi anggota DPR yang berakibat juga pada suara pemohon menjadi hangus dan terbuang sia-sia," ucap Malik dalam sidang uji materi yang digelar oleh MK di Gedung 1 MK, Jakarta Pusat, Rabu (3/7/2024).

Terkait sudah banyaknya perkara yang telah menguji norma yang sama, menurut Malik, pemohon menegaskan, hal yang dipersoalkan kliennya tidak "ne bis in idem". Adapun asas ne bis in idem adalah perkara dengan objek, para pihak, dan materi pokok perkara yang sama diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

"Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR," ujar Malik.

Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar MK menyatakan, Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024. Setelah pihak pemohon selesai membacakan isi permohonan, majelis hakim panel memberikan nasihat dan saran perbaikan.

Salah satu hakim konstitusi yang memberikan nasihat adalah Enny Nurbaningsih. Enny meminta pemohon memberikan alasan yang kuat atas permohonannya mengingat pasal tersebut sudah sering diuji dan diputus MK.

"Ini tugas beratnya di sini, apa sesungguhnya yang bisa meyakinkan Mahkamah bahwa putusan Mahkamah terakhir, Putusan Nomor 116 Tahun 2023 yang telah memaknai Pasal 414 Ayat (1), itu kemudian harus di-challenge oleh prinsipal Saudara," ujar Enny.

MK pun memberikan tenggat waktu bagi Didi dan kuasa hukumnya untuk menyerahkan berkas permohonan yang telah diperbaiki paling lambat pada Selasa (16/7/2024) pada pukul 09.00 WIB.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement