Ahad 30 Jun 2024 05:16 WIB

5 Provinsi yang Warganya Terbanyak Main Judi Online dan Analisis Pengamat

Judi online berpotensi mengakibatkan kejahatan lain.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Erdy Nasrul
Warga melihat iklan judi online melalui gawainya di Bogor, Jawa Barat,  Rabu (26/6/2024). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Satgas Judi Online, mengatakan 5 provinsi terbesar secara jumlah masyarakatnya yang sudah terpapar judi online berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah provinsi Jawa Barat (Jabar) yang paling tinggi dengan nilai transaksi mencapai Rp 3,8 triliun.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Warga melihat iklan judi online melalui gawainya di Bogor, Jawa Barat, Rabu (26/6/2024). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Satgas Judi Online, mengatakan 5 provinsi terbesar secara jumlah masyarakatnya yang sudah terpapar judi online berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah provinsi Jawa Barat (Jabar) yang paling tinggi dengan nilai transaksi mencapai Rp 3,8 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengungkap lima daerah dengan transaksi judi daring atau online (judol) tertinggi di Indonesia. Lima daerah itu adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.

Tak hanya di level provinsi, pemetaan terkait nilai transaksi judol juga dilakukan di level kabupaten/kota, di mana lima daerah dengan transaksi tertinggi adalah Jakarta Barat, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara. Sementara di tingkat kecamatan, tujuh wilayah dengan transaksi judol tertinggi adalah Kecamatan Bogor Selatan (Kota Bogor), Tambora (Jakarta Barat), Cengkareng (Jakarta Barat), Tanjung Priok (Jakarta Utara), Kemayoran (Jakarta Pusat), Kalideres (Jakarta Barat), dan Penjaringan (Jakarta Utara). 

Baca Juga

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menilai maraknya transaksi atau pemain judol di kota besar merupakan hal yang wajar. Pasalnya, akses internet di kota besar, khususnya di Pulau Jawa, adalah yang paling baik di Indonesia.

"Begitu akses internet sangat memadai, maka potensi berkah sekaligus bencanannya akan menjadi satu paket. Karena teknologinya tidak pernah salah, tapi bagaimana manusianya menggunakan itu yang menjadi tantangan," kata dia saat dihubungi Republika, Jumat (28/6/2024).

Maraknya judol di Indonesia saat ini tidak memiliki korelasi dengan tingginya angka pengangguran. Menurut dia, persoalan maraknya judol diawali pada 2020, ketika pandemi Covid-19, yang membuat semua orang berpindah ke dunia digital.

Ketika itu, akses terhadap permainan judi konvensional tertutup. Alhasil, judol yang beroperasi melalui Internet menjadi alternatif.

Selain itu, pintu masuk judol tergolonh sederhana. Keberadaan judol tak jarang terdapat dalam permainan atau gim yang ada di gawai.

"Jadi banyak orang yang tidak merasa itu sesuatu yang berbahaya karena bentuknya permainan. Ini yang membuat siapapun tidak menjadi imun dari potensi terjerat judi online. Karena itu, bentuknya permainan dan ada bonus uang," ujar Devie.

Di sisi lain, ada sebagian orang yang melihat judol sebagai potensi untuk mencari pendapatan tanpa harus bersusah payah melakukan aktivitas fisik. Alhasil, judol makin merajalela di masyarakat.

Devie menilai, upaya pemerintah untuk menangani maraknya judi online saat ini sudah baik. Pasalnya, pemerintah kompak dalam memberantas judol.

Namun, ia menambahkan, harus ada upaya untuk memastikan masyarakat dapat optimal menggunakan waktu secara produktif. Pasalnya, angka produktivitas masyarakat Indonesia yang dianggap rendah berbanding lurus dengan maraknya judol.

"Kalau sekarang pendekatannya adalah melakukan razia aplikasi, menurut saya tidak akan banyak berarti. Karena persoalannya, ketika orang sudah sibuk, gak ada waktu untuk melakukan hal tidak produktif," kata dia.

Devie menjelaskan, membuat masyarakat sibuk dengan kegiatan produktif itu bukan semata-mata dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Pasalnya, berdasarkan data PPATK, para pemain judol bukan hanya masyarakat yang menganggur. Lebih dari itu, ada juga anggota DPR, wartawan, hingga dosen, ikut bermain judol.

"Pertanyaannya, anda tidak produktif atau kantor Anda tidak mampu menciptakan manajemen pekerjaan yang bagus? Itu yang harus dijawab. Karena yang main itu bukan hanya pengangguran," ujar Devie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement