Sabtu 15 Jun 2024 09:00 WIB

Kasus DBD Melonjak, Renggut Ratusan Jiwa

Penyebaran demam berdarah tetap tinggi karena cuaca tidak menentu.

Tenaga kesehatan mengecek kondisi kesehatan pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Taman Sari, Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tenaga kesehatan mengecek kondisi kesehatan pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Taman Sari, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan mencatat hingga pekan ke-22 tahun 2024, terdapat hampir 120 ribu kasus demam berdarah dengue (DBD). Angka tersebut melebihi total kasus pada 2023 yang sebanyak 114.700 kasus.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menyebut bahwa kematian akibat DBD pada 2024 sejauh ini sudah 777, sementara pada 2023 sebanyak 894 kasus. "Kalau kita lihat di sini, jumlah paling banyak, tetap paling banyak adalah Jawa Barat. Kemudian tahun ini disusul DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah," ujar Imran dalam temu media "Asean Dengue Day 2024" yang disiarkan di Jakarta, Jumat (14/6/2024).

Baca Juga

Adapun untuk kasus kematian, ujarnya, Jawa Barat tertinggi dan disusul Jawa Tengah, lalu Jawa Timur. "DKI malah tidak muncul di sini. Kalau saya melihat sebetulnya kunci penanganannya, di DKI ini begitu terdeteksi orang demam berdarah, langsung masuk, opname. Karena kalau disuruh pulang, kita susah untuk melakukan monitoring," katanya.

Menurut dia, dalam penanganan dengue, yang terpenting adalah komitmen pemerintah, kolaborasi, serta inovasi-inovasi. Dia menilai komitmen pemerintah daerah penting karena mereka yang memiliki kendali di daerahnya.

Dia mencontohkan Kupang dan Probolinggo sebagai kesuksesan dalam menurunkan kasus DBD. Kasus DBD di Kupang turun pada 2022 dan 2023, karena setiap Jumat wali kotanya meminta semua ASN untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara serentak. Adapun Probolinggo, katanya, turun karena Pj Bupatinya setiap Jumat berkeliling untuk melihat pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk.

Dalam kesempatan itu, Imran menjelaskan bahwa meski siklus bulanan nyamuk aedes aegypti sudah lewat, namun risiko terjadinya penyebaran demam berdarah tetap tinggi sepanjang tahun, karena suhu dan cuaca sudah tidak menentu lagi.

Dia menjelaskan bahwa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut bahwa puncak kemarau pada Juli dan Agustus, dan nyamuk aedes aegypti sering menggigit apabila suhunya meningkat. Di sisi lain, katanya, hujan saat ini tidak menentu. Menurut dia, hal tersebut berbahaya, karena genangan air tidak tergantikan, sehingga menjadi tempat untuk nyamuk berkembang biak.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement