REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji EP, Muhyiddin, Rahmat Fajar
Fenomena penetrasi kelompok Salafi di masjid-masjid milik ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) belakangan menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan publik di media sosial. Isu ini muncul ke permukaan buntut 'serangan' oleh ustadz-ustadz Salafi terhadap Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang pernah membahas kajian musik dalam Islam.
Seiring dengan ramainya kalangan dari kelompok Salafi mengomentari ceramah UAH, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat, Prof Abdul Mu'ti mengirim pesan kepada jajaran jamaah Muhammadiyah agar bisa mengelola masjid sendiri agar tidak dikuasai kelompok lain.
Masjid Muhammadiyah harus dikelola dengan baik agar tidak seperti kaleng Kh*ng Gu*an. Luarnya biskuit, dalamnya rengginang. Namanya Masjid Muhammadiyah, amaliah ibadah dan kegiatan bertentangan dengan Muhammadiyah.
— Abdul Mu'ti (@Abe_Mukti) May 10, 2024
Meski tidak disebutkan yang dimaksud kelompok lain itu siapa oleh Prof Mu'ti, pakar Sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abd Faiz Aziz menyebutkan bahwa baru-baru ini muncul kelompok keberagamaan yang sering disebut dengan Salafi masuk ke masjid-masjid NU dan Muhammadiyah dengan tujuan mengembalikan praktik keberagamaan yang benar menurut mereka dan sesuai dengan praktik keislaman zaman Nabi Muhammad SAW dan salafus shalih.
Menurut Faiz, kaum Salafi tersebut menyasar masjid-masjid NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi keislaman ini menjadi penguasa mazhab keberislaman di Indonesia. Kelompok Salafi ini memiliki semangat dakwah dan mencoba memberikan alternatif penjelasan dari keislaman yang dipraktikkan NU dan Muhammadiyah. Secara perlahan kelompok Salafi ini merebut ruang masjid, meski belakangan NU dan Muhammadiyah memiliki ragam reaksi atas munculnya kelompok Salafi.