Rabu 15 May 2024 11:46 WIB

KBRI: Isu Populasi Menua di Korea Selatan Bisa Jadi Peluang untuk Indonesia

Dalam 15-20 tahun mendatang jumlah penduduk usia produktif Korea Selatan menurun.

Bendera nasional berkibar di Paviliun Imjingak di Paju, Korea Selatan (Korsel) pada 22 April 2020.
Foto: AP Photo/Lee Jin-man
Bendera nasional berkibar di Paviliun Imjingak di Paju, Korea Selatan (Korsel) pada 22 April 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Seoul Zelda Wulan Kartika mengatakan isu aging population atau populasi yang semakin menua di Korea Selatan, bisa dimanfaatkan oleh pekerja migran Indonesia.

Zelda menyampaikan hal tersebut ketika berdiskusi dengan delegasi wartawan Indonesia, sebagai peserta program “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia.

Baca Juga

“Korea sedang menghadapi aging population yang menyebabkan banyak lapangan pekerjaan tidak bisa diisi oleh (penduduk) mereka, sehingga mereka membutuhkan (tenaga kerja) dari luar, salah satunya dari Indonesia,” kata Zelda di Seoul, Selasa (14/5).

Korsel mencatat penurunan angka kelahiran hingga 7,7 persen pada 2023, dan angka kesuburan terendah sejak 1970 yakni 0,72.

Merujuk pada data tersebut, diperkirakan dalam 15-20 tahun mendatang jumlah penduduk usia produktif di Negeri Ginseng itu akan menurun drastis.

Guna menangani krisis itu, pemerintah Korsel juga telah menginisiasi beberapa program untuk menarik para tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia.

Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Seoul Teuku Zulkaryadi menyebut salah satu lapangan pekerjaan yang terbuka luas untuk pekerja Indonesia adalah tenaga pengelas (welder) profesional.

“Setelah COVID-19, industri perkapalan di Korsel mendapat banjir order sehingga mereka membutuhkan banyak tenaga pengelas untuk bekerja di industri perkapalan dan konstruksi di Korea,” kata dia.

Tahun lalu, KBRI mencatat permintaan untuk mengirim 5.000 tenaga pengelas asal Indonesia, untuk bekerja di perusahaan Korea seperti Hyundai dan Daewoo.

Namun, tenaga pengelas yang diminta oleh Korsel adalah profesional yang memiliki sertifikat dengan level tertinggi secara internasional.

“Karena ada persyaratan ini, hingga akhir Desember lalu kita hanya bisa mengirim sekitar 1.500 tenaga pengelas. Masih ada sekitar 3.500 pekerja lagi yang kita tidak bisa penuhi sesuai permintaan,” ujar Yadi.

Selain permintaan untuk tenaga kerja profesional berstatus visa E-7, pemerintah Korea juga melaksanakan program employment permit system (EPS) untuk menarik tenaga kerja dari 16 negara yang diajak bekerja sama, di antaranya Indonesia, melalui mekanisme antarpemerintah (g to g).

Yadi menjelaskan bahwa program tersebut diperuntukkan bagi buruh atau tenaga kerja berkemampuan rendah (low-skilled workers), yang sudah tidak diminati oleh masyarakat Korea pada umumnya.

Di bawah program EPS, terdapat lima sektor yang bisa dibuka untuk Indonesia yaitu manufaktur, perikanan, konstruksi, pertanian, dan jasa.

Tetapi sampai Mei ini, kata Yadi, belum ada permintaan pengiriman tenaga kerja dari Indonesia untuk memenuhi sektor-sektor tersebut.

“Karena itu kami sedang mendorong agar peluang ini dibuka untuk (tenaga kerja) Indonesia, karena permintaan tenaga kerja harus berasal dari Layanan Pengembangan Sumber Daya Manusia Korea (HRDK),” kata dia.

Berdasarkan data Imigrasi Korsel, terdapat sekitar 60.000 pekerja migran Indonesia yang bekerja secara legal di Negeri Ginseng.

Di antara jumlah tersebut, sekitar 40.000 orang dikirim melalui mekanisme g to g dengan fasilitasi Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Sebagian besar WNI itu bekerja di sektor manufaktur dan perikanan di Korsel.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement