REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Dia melihat, mahalnya biaya pendidikan tinggi dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi.
"Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?" ujar Ledia dikutip dari laman resmi Komisi X DPR RI, Jumat (10/5/2024).
Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen. Angka tersebut, kata dia, merupakan angka yang jauh dari target yang diharapkan. Konsekuensinya, tambah dia, biaya yang tinggi itu dapat membuat banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan.
Diketahui, APK perguruan tinggi adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan perguruan tinggi, tanpa memandang usia penduduk tersebut, dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan perguruan tinggi di rentang usia 19- 23 tahun.
Ledia pun mengkritik sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurut dia masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. Menurutnya, ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi dan ada pula yang menengah namun tetap mahal. Belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal.
Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. "Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung," ujar politikus PKS itu.
Lebih lanjut, Ledia menegaskan, pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dia menegaskan, niat membuat kampus mandiri bukan berarti mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya.
Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. "Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita," tutur Ledia.
Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. "Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan," ucap Ledia.
Ledia berharap, dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. "Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak," kata dia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelumnya telah menyatakan, dalam menetapkan UKT mahasiswa pihak kampus harus bijaksana dan hati-hati. Perguruan tinggi juga harus inklusif dan dapat diakses oleh mahasiswa dari berbagai latar belakang.
"Penetapan UKT mahasiswa harus bijaksana dan hati-hati," ucap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris kepada Republika.
Abdul menyatakan, penentuan besaran UKT harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua, atau pihak lain yang membiayainya. Asas berkeadilan menjadi kunci dalam melakukan penentuan besaran UKT bagi mahasiswa.
"Yaitu dengan mememukan titik ekuilibrium antara willingness to pay atau kemauan untuk membayar dan ability to pay atau kemampuan untuk membayar," kata dia.
Selain itu, Abdul juga menegaskan, perguruan tinggi juga harus inklusif dan dapat diakses oleh mahasiswa dari berbagai latar belakang, mulai dari yang kurang mampu secara ekonomi sampai yang lebih dari berkecukupan. Jangan sampai hanya menaikkan UKT, tapi buka ruang untuk mengakomodasi keragaman latar belakang mahasiswa.
"Jangan menaikkan UKT, tetapi buka ruang atau tambah kelompok tarif UKT untuk mengakomodasi keragaman latar belakang ekonomi tersebut supaya membawa rasa keadilan," jelas Abdul.