Selasa 23 Apr 2024 19:25 WIB

Mengintip Jakarta Selepas tak Lagi Jadi Ibu Kota

Peran Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional tak perlu diragukan lagi.

PT Hotel Indonesia Natour (HIN) memberangkatkan pemudik dalam program Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 di Silang Monas, Jakarta, Jumat (5/4/2024).
Foto: Dok HIN
PT Hotel Indonesia Natour (HIN) memberangkatkan pemudik dalam program Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 di Silang Monas, Jakarta, Jumat (5/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahirnya undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) menandakan babak baru bagi Jakarta yang nantinya tak lagi menyandang status ibu kota Indonesia ini. Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Suhajar Diantoro menekankan, UU ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan tonggak penting dalam evolusi fungsi dan peran sekaligus misi Jakarta sebagai kota global dan pusat perdagangan dunia.

"UU DKJ ini memberikan kewenangan khusus kepada Jakarta untuk fokus mengembangkan visinya sebagai pusat perdagangan dan kota global," ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'UU DKJ: Masa Depan Jakarta Pasca Ibu Kota', Senin (22/4/2024).

Baca Juga

Menurutnya, peran Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional tak perlu diragukan lagi. Kontribusi Jakarta terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia misalnya, mencapai 17 persen, jauh melampaui daerah lain.

Ia menegaskan, UU DKJ bukan hanya tentang perdagangan. UU ini juga membuka peluang bagi Jakarta untuk berkembang menjadi kota global yang modern, nyaman, dan berkelanjutan.

"Jakarta memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi kota global. Letaknya yang strategis, sumber daya manusianya yang berkualitas, dan infrastrukturnya yang terus berkembang menjadikannya tempat yang ideal untuk investasi dan bisnis," kata Suhajar.

Peran penting ini semakin diperkuat dengan UU DKJ yang memberikan kewenangan khusus di berbagai bidang, termasuk perizinan dan pendaftaran perusahaan, stabilitas harga, pengembangan ekspor, standardisasi perlindungan konsumen, dan pengaturan jumlah kendaraan.

Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara menjadi momentum bagi Jakarta untuk makin fokus pada pengembangan visi utamanya menjadi kota perdagangan global. Penataan yang diberikan oleh UU DKJ memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi Jakarta untuk berkembang.

Salah satu inisiatifnya adalah pengaturan kawasan aglomerasi, yang memungkinkan Jakarta untuk membangun sinergi dengan wilayah sekitarnya, termasuk Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Cianjur.

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan membangun kawasan aglomerasi yang kuat membutuhkan lebih dari sekadar infrastruktur fisik. Salah satu komponen krusial, yakni harus memiliki data dan fakta yang kuat sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.

“Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, harus membangun keberlanjutan engine ekonominya agar mampu menghadapi tantangan masa depan,” ujar Yayat. 

Menurutnya, dalam konteks pengembangan Jakarta, penting untuk memperlakukan kota dan wilayah sekitarnya sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan hanya sebagai entitas terpisah. Hal ini diperlukan untuk menciptakan ekosistem wilayah dan ekonomi yang saling mendukung satu sama lain.

“Tanpa adanya kerjasama antara Jakarta dan kota-kota sekitarnya, akan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya. Yayat juga menambahkan, penting bagi Jakarta untuk mengetahui tantangan dalam mempersiapkan engine ekonominya. 

Menurut Yayat, kota-kota yang gagal melakukan persiapan tersebut akan mengalami kerapuhan dalam daya dukung pertumbuhan ekonominya.  Meskipun Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti timah dan nikel maupun sawit sebagai penghasil uang, Jakarta memiliki kekuatan dalam bentuk “ruang” dan sumber daya manusia yang berpotensi besar. 

Selain itu, lanjut Yayat, berdasarkan data yang dia miliki, kekuatan utama Jakarta terletak pada sektor jasa keuangan, asuransi, dan aktivitas perusahaan. Hal ini menjadi lebih menarik karena ini membuat Jakarta tidak bergantung pada kota-kota sekitarnya dalam sektor-sektor ini.

Yayat melihat, misi tersebut bukan tanpa tantangan. Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa sektor perdagangan besar yang memonopoli sektor ritel dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Tantangan lainnya adalah kemacetan yang sudah menjadi penyakit akut berpuluh tahun. Masalah kemacetan ini juga harus menjadi perhatian serius yang tidak akan terselesaikan dengan hanya mengubah status Jakarta. “Perlu adanya solusi yang komprehensif dan kolaboratif antara Jakarta dan kota-kota sekitarnya untuk mengatasi tantangan ini,” jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement