Kamis 07 Mar 2024 12:54 WIB

Saat Alquran Memprediksi Pendidihan Bumi

Dua ayat tersebut memberikan isyarat berupa laut yang dipanaskan dan meluap.

Foto udara Waduk Bili-Bili yang mengalami penyusutan debit air di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/10/2023). Waduk yang menjadi sumber air baku PDAM, PLTA dan irigasi pertanian di daerah itu mengalami penyusutan debit air akibat kemarau dan fenomena El Nino dengan elevasi saat ini mencapai 77 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan volume air sekitar 36,96 juta meter kubik sementara elevasi normal setinggi 99,50 mdpl dengan volume air sekitar 259,37 juta meter kubik.
Foto: Antara/Arnas Padda
Foto udara Waduk Bili-Bili yang mengalami penyusutan debit air di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/10/2023). Waduk yang menjadi sumber air baku PDAM, PLTA dan irigasi pertanian di daerah itu mengalami penyusutan debit air akibat kemarau dan fenomena El Nino dengan elevasi saat ini mencapai 77 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan volume air sekitar 36,96 juta meter kubik sementara elevasi normal setinggi 99,50 mdpl dengan volume air sekitar 259,37 juta meter kubik.

Oleh ACHMAD SYALABY ICHSAN

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2024 menjadi tahun yang ‘menggerahkan’ karena perhelatan Pemilu. Meski demikian, ada yang diprediksi lebih panas ketimbang politik. Banyak peneliti yang bahkan menyebut 2024 sebagai tahun yang mendidih alih-alih sekadar memanas.

Dilansir dari Nature dalam artikel bertajuk Earth Boiled in 2023 — Will It Happen in Again in 2024?  Suhu global pada Januari ini, khususnya di lautan, terlihat jauh di atas suhu rata-rata sepanjang tahun.

Pola cuaca El Nino yang sedang berlangsung – di mana air hangat mengalir ke Samudera Pasifik tropis bagian timur – juga memasuki tahun kedua, yang biasanya meningkatkan pemanasan global. Ragam peristiwa ini menunjukkan bahwa pada 2024 kita akan mengalami dampak cuaca dan iklim yang lebih ekstrem dibandingkan pada 2023. Hal ini tak lepas dari perilaku manusia yang terus melepaskan gas rumah kaca sehingga membuat ‘panas’ terperangkap di  atmosfer.

“Kami tahu tahun 2024 akan terjadi gelombang panas,” kata Samantha Burgess, wakil direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus di Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa di Reading, Inggris. Hanya saja,  kapan dan di mana peristiwa itu terjadi, mereka tak bisa memprediksinya.

photo
Petugas mengukur curah hujan menggunakan alat penakar hujan di halaman Kantor BMKG Bandung, Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12/2023). Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengungkapkan, peningkatan suhu yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia dalam beberapa hari terakhir disebabkan oleh dinamika atmosfer yang kompleks. Selain itu, dampak El Nino dan Dipole Mode Positif, serta distribusi curah hujan yang belum merata. Hal tersebut berpengaruh pada penurunan curah hujan dan perubahan cuaca panas di Indonesia. - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Menurut berbagai lembaga prakiraan cuaca pada awal Januari, suhu permukaan rata-rata dunia pada 2023 yakni 1,34–1,54 derajat Celcius. Tingginya suhu ini berada di atas rata-rata tahun 1850–1900 – periode 'pra-industri' sebelum aktivitas manusia mencapai puncaknya. Menurut layanan Copernicus, setiap hari pada tahun lalu setidaknya 1 deracat Celcius lebih hangat dibandingkan rata-rata pra-industri, yang merupakan pertama kalinya tercatat.

Angka perkiraan pasti memang berbeda tergantung kumpulan data yang digunakan. Meski demikian, semua analisis menyimpulkan bahwa suhu tahunan rata-rata global mendekati atau di atas batas 1,5 derajat Celcius yang menjadi kesepakatan negara-negara sebagai angka suhu yang harus dihindari  dalam perjanjian iklim Paris tahun 2015.

Kantor Met, layanan cuaca nasional Inggris yang berbasis di Exeter, memperkirakan,  ada kemungkinan besar suhu permukaan rata-rata global akan melewati angka 1,5 derajat Celcius pada 2024. (Analisis Met Office memperkirakan suhu pada tahun 2023 adalah 1,46 derajat Celcius di atas rata-rata pra-industri).

Penjelasan Alquran

Prediksi bumi yang lebih panas pada tahun ini memang tidak mendapatkan penjelasan langsung dalam ayat Alquran. Meski demikian, dua ayat dalam Alquran sempat menyinggung soal laut yang dipanaskan untuk menggambarkan tentang situasi pada akhir zaman. Dua ayat tersebut ada pada QS at-Takwir ayat 6 yakni Wa idzal bihaaru sujjirat  (Dan apabila lautan dipanaskan) dan QS al-Infithar ayat 3 berbunyi Wa idzal bihaaru fujjirat (Dan apabila lautan dijadikan meluap).

Saat berbincang dengan Republika, pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU)  Ali Yusuf menjelaskan, dua ayat tersebut memberikan isyarat berupa gambaran situasi pada saat hari akhir atau kiamat berupa laut yang dipanaskan dan meluap. Menurut Ali, deskripsi tersebut dapat dianggap mirip dengan situasi pemanasan global akibat perubahan iklim, yaitu bumi yang semakin panas yang mengakibatkan permukaan laut memanas. Kondisi ini lantas menyebabkan cuaca ekstrim dan kerusakan ekosistem laut.

Suhu yang kian memanas juga menyebabkan es di kutub meleleh dan menyebabkan naiknya tinggi permukaan laut sehingga air laut meluap. Sebaliknya, mencairnya es di kutub dan penyerapan panas yang tinggi di permukaan laut menyebabkan suhu bumi kian memanas.

Menurut  Ali, kedua ayat tersebut dapat menjadi gambaran dari sekian banyak dampak perubahan iklim yang drastis akibat pemanasan global yang telah menyebabkan berbagai konsekuensi serius di berbagai sektor kehidupan, termasuk lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dia menjelaskan, kedua ayat tersebut sekaligus juga menjadi ‘ibaaroh atau pembelajaran bagi manusia untuk melakukan pengendalian perubahan iklim karena akan berakibat atau berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di bumi.

Ali menambahkan, masyarakat seyogyanya bisa melakukan berbagai langkah untuk mengendalikan perubahan iklim yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin panas.  Pertama, mengurangi munculnya atau produksi gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim terutama yang berasal dari sektor energi, industri, hutan dan lahan, transportasi, pertanian dan peternakan serta sampah dan limbah. Upaya dan langkah tersebut disebut dengan mitigasi.

photo
Perpustakaan Chetham simpan manuskrip Alquran bersulam emas yang berasal dari 1610. - (AP)

“Di sinilah diperlukan kesadaran dan partisipasi aktif semua pihak khususnya masyarakat untuk bersama-sama mengurangi munculnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim dengan mempraktikkan pola hidup ramah lingkungan,”ujar Ali.

Dia menjelaskan,  hendaknya manusia mampu  menghindari atau mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, melakukan pengelolaan sampah dan limbah, tidak boros, hemat energi atau beralih ke energi terbarukan dan beberapa aktivitas ramah lingkungan lainnya. Selain mitigasi, yang perlu dilakukan untuk mengendalikan perubahan iklim adalah adaptasi perubahan iklim dengan cara mengurangi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim di antaranya terjadinya bencana dengan cara melakukan pengelolaan risiko bencana melalui serangkaian aktivitas mulai dari identifikasi ancaman, mengurangi kerentanan, meningkatkan kapasitas dan melakukan serangkaian aksi pengurangan risiko bencana sehingga dapat mengurangi seminimal mungkin potensi dampak bencana yang dipicu atau akibat perubahan iklim.

Ali menambahkan, setiap aksi nyata atau perilaku baik dalam lingkup mitigasi maupun adaptasi dapat dan harus dilakukan oleh siapapun baik secara pribadi maupun bersama-sama dalam rangka mengendalikan laju perubahan iklim yang dampaknya telah nyata buruk atau sangat buruk dan telah dirasakan dalam kehidupan di muka bumi saat ini. “Dan jika kita terlambat atau tidak melakukannya, maka keberlangsungan kehidupan di bumi akan semakin terancam dan sangat mungkin fenomena sebagaimana diungkap Alqur’an surat at-Takwir ayat 6 dan surat al-Infithar ayat 3 akan terjadi dalam waktu dekat. Na’uudzu billaaH min dzaalik!”jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement