Rabu 17 Jan 2024 20:47 WIB

MPR Ingatkan Keberlanjutan Energi Dilakukan demi Pemerataan Kemakmuran

Energy Security nasional untuk BBM saat ini sekitar 20 hari.

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat.
Foto: dok pribadi
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Ririe) menyebut upaya membangun kemandirian dan keberlanjutan energi harus diwujudkan di tengah dinamika ketersediaan sumber mineral dan energi di Tanah Air. Hal ini demi kemakmuran yang merata di Indonesia.

"Pada periode transisi energi saat ini, kita harus berkomitmen penuh mengurangi dampak perubahan iklim dan menjamin pelestarian lingkungan yang mampu mendukung ketahahan energi yang kita miliki," kata Ririe, dalam keterangan, Rabu (17/1/2024).

Baca Juga

Menurut Ririe, sesuai amanat konstitusi, implikasi perlindungan negara juga termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang secara khusus tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Yakni, terkait kekayaan alam yang dikelola negara harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. 

Dia menambahkan, konteks itu pengelolaan sumber daya alam dan mineral di Indonesia, selain menjamin ketahanan energi juga mesti menunjang kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Ririe menyebut Dewan Energi Nasional (DEN) per November 2023 menyampaikan ketahanan energi nasional Indonesia berada pada angka 6,57. Angka ini termasuk dalam kategori tahan.

Di sisi lain, politikus Partai Nasdem ini mengatakan, mengutip World Energy Outlook 2024, konsumsi energi global akan meningkat sebesar 1,8 persen karena permintaan besar dari pasar Asia. "Bagaimana dengan kategori tahan itu kita mampu mengantisipasi peningkatan konsumsi energi dan dinamika di sejumlah sektor," ujar Rerie.

Karena itu, tegas Rerie, tata kelola ketahanan energi Indonesia, di samping dapat memenuhi kebutuhan domestik, juga harus mampu memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Seiring dengan perubahan maupun ketidakpastian dunia, menurut Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dibutuhkan perbaikan terkait inovasi kebijakan yang terintegrasi, sehingga dapat membantu mengembangkan sistem ketahanan energi yang efektif, efisien dan transparan.

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, bahwa Indonesia perlu terus meningkatkan energy security, sekaligus harus bersiap menghadapi gejolak ketersediaan energi. Kebijakan energi yang tepat, ujar Sugeng, sangat diperlukan agar negara mampu merealisasikan ketersediaan energi dari sisi keterjangkauan harga dan mudah diperoleh. 

Menurut Sugeng, energy security nasional untuk bahan bakar minyak (BBM) saat ini sekitar 20 hari. Sedangkan di sejumlah negara energy security-nya sudah mencapai dua hingga tiga bulan. Padahal, ungkap dia, konsumsi migas kita saat ini 1,4 juta barel per hari. 

Saat ini, ungkap Sugeng, Komisi VII DPR RI sedang memfinalisasi undang-undang energi baru terbarukan, merevisi undang-undang ketenagalistrikan dan menyusun Rancangan Undang-Undang Migas. Secara umum, tegas Sugeng, paradigma kebijakan energi kita adalah melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil. 

Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi memprediksi pada rentang 2000-2050 energi fosil masih dominan, masyarakat dunia ingin membalikkan dominasi itu dengan mengutamakan energi baru terbarukan. Pemanfaatan energi baru terbarukan 23 persen pada 2025, menurut Kholid, adalah target yang mustahil diwujudkan. 

Karena, jelas dia, untuk merealisasikan transisi energi dibutuhkan sejumlah upaya antara lain pengembangan energi baru terbarukan, melakukan pensiun dini PLTU, pemanfaatan hidrogen. Tantangan untuk mewujudkan transisi energi, jelas dia, juga besar karena ketiadaan dana transisi, teknologi green energy mahal, harga jual produk green energy juga tinggi dan ekosistem green energy juga belum memadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement