Ahad 14 Jan 2024 00:12 WIB

Bahas Situasi 2024, ICMI Soroti Biaya Pemilu yang Mahal dan Prihatin KPK

ICMI mengajak bangsa Indonesia tidak lelah berakal sehat dan memiliki idealisme.

KPUD kota Depok sudah memulai melakulan penyortiran dan pelipatan kertas suara yang dimulai dari surat suara DPD RI
Foto: Republika/Prayogi
KPUD kota Depok sudah memulai melakulan penyortiran dan pelipatan kertas suara yang dimulai dari surat suara DPD RI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menyoroti situasi terkini di bidang politik dan hukum, memasuki 2024. Hal ini dibahas mendalam dalam Webinar Nasional ICMI Outlook 2024: Perspektif Hukum, Politik, Ekonomi, dan Keamanan yang berlangsung secara daring, Sabtu (13/1/2024) malam. 

Webinar menghadirkan Ketum ICMI Prof Arif Satria dan Waketum ICMI Andi Azhar Cakra Wijaya. Keduanya memberikan pidato tanggapan. Sementara pembicara menghadirkan Ketua Koordinator Politik ICMI Prof Lili Romli, Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Prof Didin S Damanhuri, peneliti hukum sekaligus pengajar di STHI Jentera Bivitri Susanti, dan peneliti BRIN Kluster Pertahanan dan Keamanan Muhammad Haripin.

Dalam sambutannya, Waketum ICMI menyoroti sekaligus situasi politik dan hukum terkini. Menurut Andi Azhar, dari sisi politik, saat ini yang terpenting adalah pemilu. Ia membuka dengan mengatakan mahalnya biaya pemilu di Indonesia. Putaran pertama mencapai Rp 70 triliun, dan putaran sekitar Rp 17 triliun.  “Kita bayangkan, politik di Indonesia itu biayanya sampai hampir Rp 90 triliun!” 

Di balik anggaran itu, ia berharap ada perputaran ekonomi yang menggerakkan masyarakat. Mengutip satu studi, ia menambahkan total perputaran uang dari agenda politik nasional ini akan sebesar Rp 200 triliun. Dengan demikian, kata dia, ada hubungan erat antara politik dan ekonomi sepanjang tahun ini.

Lalu apa yang ICMI harapkan? Andi menekankan, “Harapan kita adalah kita mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Yang memang ingin memperjuangkan kepentingan umat Islam di Indonesia.” 

Menyoroti persoalan hukum, Andi mengatakan ICMI khawatir dengan situasi penegakkan hukum di Indonesia. Ia menyebut dua peristiwa besar di bidang hukum terjadi pada Desember dan Januari. Pertama adalah Ketua KPK Firli Bahuri menjadi tersangka, dan kedua puluhan anggota KPK terkena kasus suap. ICMI, kata Andi, tidak membayangkan bahwa integritas KPK sudah sehancur itu.

Karena itu, ICMI mendesak pemerintah untuk memulai reformasi kultur dan struktur di sektor hukum Indonesia. “ICMI harus bersuara soal ini. Masyarakat khawatirnya di masa depan tidak lagi mempercayai hukum,” kata Andi Azhar.

Ketum ICMI, Prof Arif Satria, yang berbicara di sesi penutupan webinar mengatakan menyikapi situasi saat ini ada dua kata penting yang harus terus dipertahankan dan diperkuat, yakni idealisme dan akal sehat. “Ini jadi faktor penyatu dan pengikat masyarakat madani,” kata Arif. Rektor IPB University ini menegaskan, selama bangsa Indonesa menjaga dan memperkuat idealisme dan akal sehat maka proses reformasi dan transformasi akan jadi keniscayaan.

Arif mengajak segenap elemen bangsa untuk tidak lelah memperjuangkan idealisme dan akal sehat. ICMI, kata dia, akan terus berupaya memberi energi terkait idealise dan akal sehat. “Jadi sumber inspirasi agar kita menjadi bangsa yang adil dan makmur dan diridhoi oleh Allah SWT,” kata dia.  

Kemunduran demokrasi

Ketua Koordinator Politik MPP ICMI Prof Lili Romli kemudian berbicara soal fenomena kemunduran demokrasi di Indonesia. Ia mengutip sejumlah sumber, bahwa kemunduran demokrasi juga tengah terjadi di negara-negara lain di seluruh dunia.

Ada sejumlah ciri yang sama dari kemunduran itu, seperti: demokrasi dirusak perlahan-lahan justru oleh pemerintah. “Tidak sekaligus dikudeta atau pemimpinnya jadi diktator. Pelaku utamanya, faktor kedua, bukanlah militer. Tapi mereka yang terpilih jadi pemimpin demokrasi,” kata Lili.

Ketiga, Lili melanjutkan, terjadi pembatasan hak politik dan kebebasan sipil. Ia kemudian mengacu pada studi FreedomHouse, di mana indeks kebebasan di Indonesia itu terus mengalami penurunan, dari skor 64/100 di 2014 sekarang ada di 58/100. Indeks kebebasan di dunia maya juga turun dari 53/100 jadi 47/100.

“Masyarakat takut kemukakan pendapat. Partisipasi kritis ditekan. UU ITE mereka yang berbeda pendapat jadi persoalan hukum,” kata Lili, menjelaskan.

Kemudian, Lili juga mengutip data dari Economist Intellegence Unit yang memotret kondisi demokrasi RI sebagai ada penurunan dan stagnan. “RI dianggap sebagai demokrasi yang cacat. Meski pemilu berlangsung, namun dimungkinkan juga ada masalah, pelanggaran kebebasan pers dan membatasi gerak para oposisi dan pemerhati yang kritis,” kata Lili. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement