Kamis 28 Dec 2023 16:40 WIB

Pengamat Soroti Debat Gibran dan Mahfud Terkait Rasio Pajak

Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan pajak

Pengamat pajak sekaligus CEO Hive Five, Sabar Lumban Tobing.
Foto: Republika.co.id
Pengamat pajak sekaligus CEO Hive Five, Sabar Lumban Tobing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Debat calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD sempat menyinggung tentang rasio pajak dan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara. Rasio pajak adalah persoalan yang cukup penting, sebab berkaitan dengan kesehatan anggaran negara.

Sepanjang sejarah pemilu, baru kali ini isu tentang rasio pajak (tax ratio) menjadi perdebatan yang cukup serius. Awal mula perdebatan itu terjadi ketika Mahfud mempertanyakan target rasio pajak atau rasio penerimaan negara yang dipaparkan Gibran.

Adapun pasangan Prabowo-Gibran menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka 23 persen itu kemudian diluruskan bukan rasio pajak, dalam arti rasio penerimaan pajak dengan PDB.

Mahfud menganggap, angka 23 persen dianggap tidak realistis dan dikhawatirkan memicu perburuan masif terhadap wajib pajak, mengharuskan pertumbuhan ekonomi yang ofensif, dan tentu saja menggenjot penerimaan pajak yang basis kepatuhan wajib pajaknya masih di kisaran 86 persen.

Pengamat pajak sekaligus CEO Hive Five, Sabar Lumban Tobing menjelaskan, rasio pajak merupakan indikator yang signifikan dalam konteks ekonomi suatu negara, mengukur proporsi pendapatan pajak terhadap PDB nominal negara tersebut. Menurut dia, rasio pajak memiliki peran vital dalam penilaian kinerja penerimaan pajak pemerintah, serta mencerminkan kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai kebutuhan publik dengan sumber daya dalam negeri.

"Semakin tinggi tax ratio suatu negara, semakin besar ketergantungan pemerintah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan meningkatnya tax ratio, ketergantungan pada pembiayaan melalui utang pun dapat ditekan," ujar Sabar dalam siaran di Jakarta, Kamis (28/12/2023).

Menurut dia, proses perhitungan rasio pajak melibatkan dua pendekatan, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, yang diterapkan pada saat tertentu, pembilangnya mencakup penerimaan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea dan Cukai, serta pajak lainnya.

Saat ini, Indonesia telah mulai mengadopsi perhitungan rasio pajak dalam arti luas, meskipun belum sepenuhnya, karena komponen pajak daerah belum dimasukkan dalam perhitungan tersebut. Berbagai faktor memengaruhi besarnya rasio pajak suatu negara, terbagi menjadi dua kategori, yaitu faktor makro dan faktor mikro.

"Faktor makro melibatkan aspek seperti tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan efektivitas administrasi pajak. Sementara itu, faktor mikro melibatkan tingkat kepatuhan wajib pajak, kerja sama dan koordinasi antarlembaga pemerintah, serta pemahaman bersama antara wajib pajak dan petugas pajak," ucap Sabar.

Dia menyarankan, pemerintah harus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan pajak. Caranya, dengan menyadari bahwa terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi potensi penerimaan pajak, dan sebaliknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement