Ahad 10 Dec 2023 09:54 WIB

Menjaga Muruah Bangsa di Tengah Kesemarakan Jelang Pemilu 2024

Pemilu 2024 harus berlangsung dengan menjaga muruah bangsa.

Tiga pasangan Capres-Cawapres peserta Pilpres 2024 menandatangani kesepakatan pemilu damai.
Foto: Republika/Prayogi
Tiga pasangan Capres-Cawapres peserta Pilpres 2024 menandatangani kesepakatan pemilu damai.

Oleh : Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah M.Si, M.A*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desember adalah bulan refleksi karena tinggal selangkah lagi untuk pergantian tahun. Tahun 2023-2024 ini merupakan tahun politik bagi Indonesia. Momentum pergantian kepemimpinan sangat penting karena politik merupakan institusi sosial yang sangat determinan untuk masa depan Indonesia.

Sayangnya, pemilu 2024 diwarnai dengan kekhawatiran  ancaman semakin menguatnya politik transaksional, menghargai momen pergantian politik dengan sejauh mana bisa mengambil manfaat secara ekonomis dan politis dalam pemilu 2024. Dengan kata lain, ada ancaman menjual Indonesia dengan harga murah  (Indonesia for sale), penggadaian marwah Indonesia demi uang dan kekuasaan semata. 

Baca Juga

Menjadikan politik dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menjual marwah bangsa merupakan hal yang sangat naif. Hal tersebut ditandai dengan toleransi yang berlebihan terhadap praktik-praktik yang berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Kita perlu kembali mengingat bahwa di atas politik ada kemanusiaan, visi kehidupan kebangsaan. Kemenangan dalam kontestasi politik sangat diharapkankan oleh semua pihak karena artinya bisa berkuasa, memimpin dan memiliki  kewenangan (authority) untuk mengalokasikan sumber-sumber daya yang terbatas. 

Di atas politik  seharusnya ada hukum, etika, hati nurani, akal sehat. Aspek-aspek norma kehidupan berbangsa ini sangat abstrak dan seringkali gagal dipahami oleh kalangan yang terlalu ambisi untuk berkuasa atau yang terlalu ambisi untuk mempertahankan kekuasaan. Tentu bukan kehususan bagi kelompok muda atau kelompok tua. Kalau bukan karena sosialisasi yang intensif untuk toleransi terhadap pengabaian hati nurani dan akal sehat oleh generasi tua, seharusnya kelompok muda juga tidak akan secara masif terbiasa dengan mentoleransi praktik-praktik politik dan norma sosial yang mengabaikan etika, hati nurani dan akal sehat.

Pemuda Sebagai Agen Perubahan vs Korban

Jika di masa-masa sebelumnya pemuda identik dengan posisinya sebaga agen of social change, maka ada hal yang tidak biasa  terjadi saat ini. Ancaman pemuda menjadi objek generasi tua yang pragmatis dalam politik. Pemuda yang  dalam sejarah selalu menjadi harapan bangsa vs pemuda yang  sudah berperilaku seperti sebagian generasi tua yang tidak bijaksana. Tentu harus disadari dalam setiap generasi, selalu ada yang berkomitmen terhadap idealisme dalam kehidupan sosial, dalam berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, sebagian lainnya lebih pragmatis membenarkan segala cara yang penting bisa berkuasa. Ada tokoh-tokoh yang sangat dihormati karena sikap kenegarawanan, tidak aji mumpung tetap mempertahankan etika politik. Sebalik ada juga tokok-tokoh yang menjadi besar karena kemampuan dalam merekayasa politik dan kekuasaan.

Menyedihkan sekali ketika di masa-masa yang menentukan ini, Indonesia harus menghadapi pragmatisme yang sangat kuat. Demokrasi dengan nilai-niali sangat normatif itu urusan generasi tua, kalau menunggu generasi tua puas dalam berkuasa akan sampai kapan? Begitu kira-kira sebagian anak muda bersuara. Generasi tua tidak melibatkan generasi muda, mereka juga asyik sendiri dengan pikiran-pikirannya. Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya adalah bagian dari ketidakberdayaan sebagian generasi muda. Perilaku politik yang tidak bisa diteladani dari generasi tua tersosialisasi dengan sangat mudah kepada generasi muda.

Pemuda-pemuda yang mencari jalan pintas untuk segera menjadi pemimpin di negeri ini adalah pemuda menjadi korban dari dinamika yang ada. Mereka korban dari rekayasa dan kebiasaan yang manipulatif yang semakin menjadi norma dalam kehidupan sosial.  Politik uang bagian dari praktik yang semula sangat tabu, tetapi saat ini semakin banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang menunjukan bahwa praktik tersebut sudah sangat biasa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam setiap momentum politik, financial capital  selalu diasumsikan sebagai instrumen yang paling utama,  disusul oleh faktor-faktor lain seperti popularitas, track record dan kinerja, kapasitas. Kita selalu berhadapan dengan ancaman bahwa meritokarsi, profesionalisme, kinerja dan kapasitas hanya bisa diperhitungkan ketika ada faktor finansial dan faktor lain yang mendukung. 

Kembali ke Fitrah Akal Sehat dan Hati Nurani

Harapan agar hati nurani dan akal sehat bisa mengalahkan toleransi terhadap pragmatisme  dalam kehidupan sosial tentu selalu harus tetap disuarakan. Indonesia is not for sale, bukan sekedar toleransi terhadap pragmatisme tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seperti agama, tetapi juga kerugian di masa depan yang yang tidak bisa dipulihkan. Pendidikan seharusnya bisa institusi yang paling diharapkan bisa mengembalikan kesucian hati nurani dan kekuatan akal sehat. Demikian juga sebagai masyarakat Muslim mayoritas, spiritualitas juga seharusnya tidak dikalahkan oleh ambisi dan nafsu. Selain itu ada institusi hukum yang bisa menjadi benteng terahir untuk pertahanan akal sehat dan hati nurani.

Dalam praktiknya ada potensi pendidikan, agama, hukum tidak bisa menjadi panacea. Manipulasi terhadap instutusi-institusi tersebut juga bukan hal yang baru. Ada fenomena komodifikasi agama dan juga pendidikan. Fungsi manifest agama dan pendidikan adalah terkait dengan moralitas, tetapi fungsi laten dari keduanya adalah potensi untuk kepentingan-kepentingan lainnya. Harapan tentang fungsi manifest agama dan pendidikan sangat realistis karena fitrah manusia memiliki hati nurani dan akal sehat. Demikian juga terhadap institusi hukum, meskipun tidak sedikit hukum disalah gunakan tetapi penyalahgunaan hukum juga akan mendapatkan ganjarannya. Kita berharap rumitnya masalah dalam institusi agama, pendidikan, supremasi hukum tidak menghalangi untuk kembali kepada fungsinya masing-masing.

 

*Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement