Kamis 07 Dec 2023 07:40 WIB

BMKG Sebut Teori Periode La Nina dan El Nino tak Berlaku Lagi

Petani selalu terancam kelebihan air atau kekeringan.

Round tablet discusion bertajuk : Peran Agro-input dalam Rantai Produksi Pangan Nasional di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Foto: istimewa/doc humas
Round tablet discusion bertajuk : Peran Agro-input dalam Rantai Produksi Pangan Nasional di Jakarta, Rabu (6/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut teori periode La Nina dan El Nino kurang relevan. Hal ini disebabkan perubahan iklim.

Hal ini disampaikan Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG A. Fachri Radjab dalam round table discussion bertajuk "Peran Agro-input dalam Rantai Produksi Pangan Nasional". Kegiatan yang diadakan Nagara Institute dan ditayangkan di Akbar Faizal Uncensored,  berlangsung pada Rabu (6/12/2023).

"Teori yang selama ini kita pelajari, ada periode pengulangan selama 5-6 tahun antara La Nina dan El Nino, tapi ternyata selama lima tahun teori itu sudah tidak berlaku lagi," ujar  Fachri dalam siaran pers

Diskusi yang dipandu oleh Akbar Faizal dan peneliti dari Nagara Institute Dian Revindo itu menghadirkan banyak pembicara, yakni Direktur Pangan BRIN, Prof Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo MPU yang diwakili Peneliti BRIN I Gusti Made Sudiksa, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan BPN Dr. Rachmi Widiarini, Plt. Kepala BPS Amelia A Widyasanti, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG A. Fachri Radjab, Direktur Tanaman Pangan Ir. Suwandi, Direktur KADIN Karen Tambayong, Dirit PT Pupuk Kaltim Budi Wahyu Soesilo, Sekretaris Koperasi HKTI Yoseph Patricius Carry Pratomo, Ketum MAPORINA Ir. Subandrio, Sekjen APPI A. Tossin Surawikara, dan Pengamat Pertanian Khudori.

Terkait periode perubahan iklim yang tidak lagi berlaku itu, Radjab memberi contoh pada 2020, 2021, dan 2022 Indonesia tiga tahun berturut-turut mengalami La Nina yang artinya kelebihan air akibat hujan terus-menerus. Fenomena seperti itu hanya terjadi pada 50 tahun lalu.

"Jadi sekali lagi, teori periode La Nina dan El Nino terjadi dalam lima atau enam tahun sepertinya sudah tidak relevan lagi sekarang," tegasnya.

Radjab menyebut perubahan iklim adalah isu global yang sangat disorot. Kesalahan memitigasi perubahan iklim merupakan risiko global nomor satu dan nomor dua yang mempengaruhi ekonomi global dalam jangka panjang.

"Perubahan iklim kami amati dalam beberapa parameter. Secara global naik terus dan perubahan iklim adalah kenyataan. Contohnya carbon dioksida, emisi gas sudah sekitar 149 persen lebih tinggi dibanding ketika masa pra-industri," jelasnya.

Indikator lainnya, ungkap Radjab, adalah perubahan suhu global. Dari 1960-an hingga awal 2000 terjadi lonjakan tajam. Rate-nya sangat cepat ketika bicara suhu sebagai fenomena perubahan iklim.

Kaitannya dengan agraria, Radjab mengatakan bahwa bicara pertanian maka bicara air. Dan faktor perubahan iklim mendorong sisi basah ataupun sisi kering.

"Ketika musim hujan ancamannya terjadi longsor dan banjir. Sementara musim kemarau terjadi kekeringan dan suhu tinggi. Jadi kita waspada di musim dingin dan musim hujan. Kebanyakan air gagal panen, kekuargan air juga gak bisa panen," paparnya.

"Dalam penelitian BMKG, ada wilayah di Indonesia yakni NTB dan NTT yang mengalami fenomena 65 hari berturut-turut tanpa hujan, dan pada November 2023 ini selama 141 hari berturut-turut tanpa hujan. Sedangkan rekornya ada di NTT selama 207 hari tanpa hujan. Nah ini tantangan petani kalau mau nanam," jelasnya.

Pembicara lainnya, Habibullah dari Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan bahwa lembaganya sudah merilis sensus pertanian 2023. Ia menyebut ada pertambahan umur usia petani yang cenderung naik sebesar 6 persen di atas 45 tahun. Kemudian ada juga data petani generasi Milenial serta istilah petani Milenial yang berusia 19-31 tahun.

"Kemudian petani gurem ada peningkatan. Ada 60,84 persen (petani gurem) menggunakan konsep 0,5 hektar. Menggunakan small skill production," ungkap Habibullah.

Ia menyebut ada beberapa daerah yang banyak petani guremnya. Dan yang terbesar petani guremnya ada di Papua Pegunungan.

"Kalau kita lihat penggunaan lahan yang kurang dari 2000 meter persegi itu meningkat. Artinya, ini sesuai penambahan kepemilikan lahan, dan sepertinya penggunaan lahan mulai berbagai karena penggunaan lahan kecil semakin meningkat," jelasnya.

Terkait penggunaan pupuk, BPS melihat ada 9 komoditas target subsidi pupuk dan yang paling banyak diusahakan oleh "usaha pertanian".

Data ini, kata Habibullah, tidak termasuk buruh tani. Karena yang dilihat adalah yang benar benar usaha terlihat ketepatan usaha serta komoditas apa yang ada di setiap provinsi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement