REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut sunat bagi perempuan dan anak perempuan harus dihapuskan karena berbahaya dan merupakan bentuk pelanggaran hak perempuan.
"Sunat pada perempuan atau anak perempuan dengan pemotongan dan pelukaan adalah praktik berbahaya bentuk pelanggaran hak perempuan dan anak, dan termasuk kekerasan berbasis gender," kata Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KPPPA Rohika Kurniadi Sari dalam keterangan, di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Rohika Kurniadi Sari mengatakan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 yang mengatur tentang Sunat Perempuan dan mendorong sosialisasi gerakan Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). KPPPA juga telah mengambil langkah progresif untuk mendorong penghentian praktik sunat pada perempuan.
"Tahun 2013 itu jadi tonggak pergerakan KPPPA untuk meninjau dampak dari praktik sunat pada anak perempuan. Sejak tahun 2016, KemenPPPA bekerja sama dengan UNFPA telah melakukan rangkaian advokasi dan sosialisasi pencegahan P2GP diperkuat dengan disusunnya Roadmap dan Rencana Aksi 2030 tentang penurunan dan penghapusan praktek P2GP di Indonesia," katanya.
Sunat perempuan hingga kini masih dilakukan oleh keluarga di beberapa daerah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, persentase anak perempuan yang pernah disunat sangat tinggi, yakni mencapai 51,2 persen.
"Praktik sunat perempuan masih terjadi hingga kini, sehingga kita butuh terobosan, langkah pendekatan baru. Perspektif dari sisi remaja atau anak perempuan dan budaya belum dikupas, sehingga perlu juga melibatkan mereka dalam advokasi. Kami berharap dukungan dan sinergi seluruh pihak," katanya.