REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina membuat resiliensi warganya terus tumbuh lintas generasi.
"Perjalanan panjang kekerasan yang seringkali menempatkan perempuan, anak, dan orang tua sebagai kelompok paling banyak menjadi korbannya. Bahwa akhirnya dengan proses ini, upaya untuk bertahan, resiliensi itu terus bertumbuh lintas generasi," kata Andy Yentriyani dalam diskusi via daring bertajuk 'Pantang Menyerah: Belajar dari Pengalaman PPHAM Palestina', Rabu (6/12/2023).
Hal ini mengacu pada kisah yang diungkapkan Dosen Antropologi, Islam, dan Globalisasi Universitas Edinburgh Kholoud al-Ajarma tentang kehidupan perempuan-perempuan pembela HAM di Palestina. Menurut Andy Yentriyani, perjuangan perempuan pembela HAM di Palestina bukan di tempat yang nihil konflik, melainkan di tempat dengan banyak terjadi pelanggaran HAM.
"Kita bicara soal perempuan pembela HAM pada bukan ruang yang vakum tapi juga ada konteks di mana justru pencabutan pada hak-hak asasi itu terjadi di depan mata setiap harinya," katanya.
Cita-cita para perempuan pembela HAM tersebut adalah untuk tetap bisa melanjutkan kehidupannya dan melakukan upaya pembelaan HAM. "Kita lihat ada rekan-rekan perempuan yang juga mengangkat senjata," kata Andy Yentriyani.
Selain berjuang dengan mengangkat senjata, para perempuan pembela HAM di Palestina juga ada yang berjuang tanpa menggunakan cara kekerasan. "Ada yang menggunakan ruang nir-kekerasan seperti sastra, budaya, seni rupa, seni lukis, pendidikan. Juga menggunakan ruang-ruang publikasi yang dimungkinkan termasuk sebagai jurnalis dan juga jurnalis warga dengan sosial media saat ini," katanya.
Tantangan dan bahaya yang mereka hadapi adalah ditangkap dan ditahan dengan perlakuan yang semena-mena, bahkan hingga risiko kehilangan nyawa.
"Kekerasan itu seperti bagian dari kehidupan sehari-hari mereka," katanya.