Rabu 06 Dec 2023 20:00 WIB

Komnas Perempuan: Konflik Berkepanjangan Buat Warga Palestina Tangguh

Perempuan, anak, dan orang tua kelompok rentan korban genosida Israel.

Mantan tahanan wanita Palestina Hanna Barghouti, yang dibebaskan oleh otoritas Israel, mengenakan ikat kepala Hamas saat dia diterima oleh para pendukungnya setibanya di kota Beitunia, Tepi Barat, Jumat (24/11/2023). Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan pembebasan sandera sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata selama empat hari. Sebanyak 50 sandera Israel dibebaskan oleh Hamas dan 150 wanita Palestina serta anak-anak yang ditahan di penjara Israel dibebaskan oleh Israel.
Foto: AP Photo/Nasser Nasser
Mantan tahanan wanita Palestina Hanna Barghouti, yang dibebaskan oleh otoritas Israel, mengenakan ikat kepala Hamas saat dia diterima oleh para pendukungnya setibanya di kota Beitunia, Tepi Barat, Jumat (24/11/2023). Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan pembebasan sandera sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata selama empat hari. Sebanyak 50 sandera Israel dibebaskan oleh Hamas dan 150 wanita Palestina serta anak-anak yang ditahan di penjara Israel dibebaskan oleh Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina membuat resiliensi warganya terus tumbuh lintas generasi.

"Perjalanan panjang kekerasan yang seringkali menempatkan perempuan, anak, dan orang tua sebagai kelompok paling banyak menjadi korbannya. Bahwa akhirnya dengan proses ini, upaya untuk bertahan, resiliensi itu terus bertumbuh lintas generasi," kata Andy Yentriyani dalam diskusi via daring bertajuk 'Pantang Menyerah: Belajar dari Pengalaman PPHAM Palestina', Rabu (6/12/2023).

Baca Juga

Hal ini mengacu pada kisah yang diungkapkan Dosen Antropologi, Islam, dan Globalisasi Universitas Edinburgh Kholoud al-Ajarma tentang kehidupan perempuan-perempuan pembela HAM di Palestina. Menurut Andy Yentriyani, perjuangan perempuan pembela HAM di Palestina bukan di tempat yang nihil konflik, melainkan di tempat dengan banyak terjadi pelanggaran HAM.

 

"Kita bicara soal perempuan pembela HAM pada bukan ruang yang vakum tapi juga ada konteks di mana justru pencabutan pada hak-hak asasi itu terjadi di depan mata setiap harinya," katanya.

Cita-cita para perempuan pembela HAM tersebut adalah untuk tetap bisa melanjutkan kehidupannya dan melakukan upaya pembelaan HAM. "Kita lihat ada rekan-rekan perempuan yang juga mengangkat senjata," kata Andy Yentriyani.

Selain berjuang dengan mengangkat senjata, para perempuan pembela HAM di Palestina juga ada yang berjuang tanpa menggunakan cara kekerasan. "Ada yang menggunakan ruang nir-kekerasan seperti sastra, budaya, seni rupa, seni lukis, pendidikan. Juga menggunakan ruang-ruang publikasi yang dimungkinkan termasuk sebagai jurnalis dan juga jurnalis warga dengan sosial media saat ini," katanya.

Tantangan dan bahaya yang mereka hadapi adalah ditangkap dan ditahan dengan perlakuan yang semena-mena, bahkan hingga risiko kehilangan nyawa.

"Kekerasan itu seperti bagian dari kehidupan sehari-hari mereka," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement