Senin 04 Dec 2023 05:01 WIB

Peradaban Indonesia yang (semakin) Rapuh? 

Keluarga adalah fondasi, ia adalah dasar, dan kunci jatuh tegaknya sebuah peradaban.

Ironisnya, cara pandang dan perspektif sebagian kita terhadap sosok perempuan kian bergeser jauh. Mereka menempatkan kauh Hawa, layaknya objek, bukan sebagai partner membangun peradaban. (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Ironisnya, cara pandang dan perspektif sebagian kita terhadap sosok perempuan kian bergeser jauh. Mereka menempatkan kauh Hawa, layaknya objek, bukan sebagai partner membangun peradaban. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, 

Ditulis Oleh Wartawan Republika Nashih Nashrullah 

 

Faktor penghancur peradaban itu sangat beragam dan mungkin kompleks. Satu sama lain saling berkaitan. Jared Diamond dalam bukunya yang bertajuk "Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed," menulis kemungkinan tumbangnya sejumlah peradaban. Ironisnya, negara kita, Indonesia masuk dalam hitungannya.   

Selain negara kita, guru besar Geografi di University of California, Los Angeles, ini mencolek juga nama Kolombia dan Nepal. Mungkin kita agak sedikit beruntung, tetapi tetap perlu mawas dan waspada, negara seperti Somalia, Rwanda, dan Zimbabwe ia sebut sebagai peradaban yang tumbang pada era modern sekarang! 

Diamond menyebut ada lima faktor. Kelimanya itu merujuk pengalaman Norse Greenland Eropa yang pernah berjaya dari 984 M hingga akhirnya tumbang pada 1450 M. 

Perilaku yang bermuara pada akhlak ikut bersumbangsih pada keruntuhan Greendland. Seperti tampak dari penggundulan tanah yang dilakukan oleh Viking, menyebabkan erosi dan berdampak fatal bagi kelangsungan hidup mereka. 

Menurut Diamond, secara umum, sebuah peradaban runtuh setelah mencapai puncak kejayaannya. Begitulah siklus peradaban. Dalam beberapa kasus, ada pula peradaban yang runtuh dengan begitu cepat, setelah kejayaan berhasil diraih selama beberapa dekade, tetapi dalam tempo yang begitu cepat, peradaban itu tumbang seperti peradaban Maya Klasik di Yucatan.       

Secara teori, sebetulnya paparan Diamond tak begitu mengagetkan. Ia tidak berangkat dari kesimpulan nol. Teori yang sama tentang siklus peradaban yang melemah akibat merosotnya moralitas pernah disampaikan, antara lain, oleh para cendekiawan Muslim. 

Dalam "Muqaddimah"-nya, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban,  mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen memegang nilai dan moralitas tersebut saat kemaksiatan merebak di mana-mana. "Inilah yang terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol," tulis Ibnu Khaldun.  

Nilai-nilai moralitas inilah yang kini, kian kentara, di institusi keluarga kita. Ikatan rumah tangga sudah bukan hal yang sakral lagi. Perceraian begitu mudah terucap. Keluarga berantakan dan mengancam generasi-generasi penerus kita. 

Angka perceraian di Indonesia lima tahun terakhir terus meningkat. Dari dua juta pasangan menikah, sebanyak 15 hingga 20 persen bercerai. Sementara itu, jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.231, naik sekitar kasus 131.023 dibandingkan tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus. 

Ironisnya, saat bersamaan, paradigma, cara pandang, dan perspektif sebagian kita terhadap sosok perempuan kian bergeser jauh. Mereka menempatkan kauh Hawa, layaknya objek, bukan sebagai partner membangun sebuah peradaban. 

Objek, sebagaimana karakternya, hanya menjadi maf'ul bih, tak lebih. Teknologi kian mengkristalkan pola interaksi itu. Atau perilaku Barbar manusia modern saat ini yang memperbudak, menjual, dan menindas perempuan, mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno. Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau, sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin? 

Berbagai peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa direncanakan pada titik tertentu. Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan modern tidak jelas bahkan mulai kabur. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi seperti prediksi Arnold Toynbee?     

Jika kekaguman Umar bin Abdullah bin Abi Rabi'ah (w 93H/711 M), pujangga ternama yang hidup pada Dinasti Umayah dalam puisi-puisinya saja mampu menginspirasi Barat dalam memuliakan perempuan, mestinya, kita sebagai Muslim, di mana pun berada, mampu berperan aktif menyelesaikan persoalan ini. Dalam kekagumannya, sosok yang didaulat sebagai tokoh Quraisy paling puitis itu menulis: 

Aku melihat paras dan aura kehawaannya

Seperti sinar rembulan yang elok

Ketika tampak dari kegelapan

Dengan segera wajahnya bersinar 

Kekaguman dan penghormatannya terhadap perempuan begitu mengkristal. Ia juga sering disebut-sebut sebagai spesialis penyair yang berkaitan dengan kecantikan, keelokan,  dan misteri agung perempuan. Begitulah perempuan.  

Kerapuhan mereka bukan untuk ditindas. Mereka lemah tetapi sejatinya sangat kuat, melampaui batas kemampuan pria meski tak banyak yang menyadarinya. 

Ada agenda besar yang tampaknya mesti menjadi fokus kita bersama, menyelamatkan keluarga-keluarga Indonesia dari keterbengkalaian. Sebab, keluarga adalah fondasi, ia adalah dasar, dan kunci jatuh tegaknya sebuah peradaban. Di sinilah, nilai-nilai agung transendental itu pertama kali ditanamkan. Lalu, ke manakah sebetulnya raibnya nilai-nilai agung institusi keluarga kita itu kini? 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement