Kamis 30 Nov 2023 16:25 WIB

Tim Fanta dan Fenomena Milenial dalam Politik

Politik riang gembira, santun, dan santuy, kompatibel dengan milenial di medsos.

Alat peraga kampanye capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpasang di Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (29/11/2023). Usai diresmikannya masa kampanye Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sejumlah ruas jalan di Jakarta mulai dipenuhi oleh baliho dan spanduk capres cawapres, partai politik dan calon legislatif. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Masa kampanye tersebut mencakup pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, debat pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta kampanye melalui media sosial yang berlangsung dari tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 mendatang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Alat peraga kampanye capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpasang di Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (29/11/2023). Usai diresmikannya masa kampanye Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sejumlah ruas jalan di Jakarta mulai dipenuhi oleh baliho dan spanduk capres cawapres, partai politik dan calon legislatif. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Masa kampanye tersebut mencakup pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, debat pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta kampanye melalui media sosial yang berlangsung dari tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID,

Ditulis oleh Wartawan Republika Sammy Abdullah

Setiap pemimpin ada zamannya, setiap zaman ada pemimpinnya. Pemimpin yang baik adalah dia yang mampu beradaptasi dengan zaman. Pemimpin yang luar biasa adalah dia yang mampu mewarnai zaman. Hal itu menandakan relasi timbal balik pemimpin dengan waktu.

Dia yang tak mampu beradaptasi dengan zaman akan tergilas oleh perkembangan zaman itu sendiri. Kita bisa melihat kenyataan politik Indonesia dewasa ini. Populasi Indonesia yang mayoritas diisi milenial membuat gaya politik sudah berubah 180 derajat. Sebab cara milenial menilai kepemimpinan tidaklah sama dengan generasi sebelumnya. Milenial punya cara berbeda untuk menentukan siapa pemimpin pilihan mereka.

Sejumlah riset dalam rumpun manajemen strategis menunjukkan perbedaan antara generasi X (kelahiran 1965 hingga 1980) dan milenial (1980-1996) soal selera dan gaya ideal kepemimpinan. Medyanik (2016) mengklasifikasi enam karakteristik utama kepemimpinan versi milenial. Pertama adalah empowering atau pemimpin yang mampu memberdayakan orang yang dipimpin. Kedua adalah pemimpin yang mendengar masukan, (3) Memimpin dengan memberi contoh, (4) pemimpin yang mengandalkan kerja tim, (5) pemimpin yang transparan dan (6) mendengarkan masukan sebelum memutuskan.

Inti dari klasifikasi kepemimpinan ideal bagi milenial adalah bagaimana pemimpin mampu bersifat inklusif. Pemimpin jadi agregator yang melibatkan milenial-milenial sebagai subjek utama yang terlibat. Bukan justru milenial hanya dijadikan objek yang diperebutkan suaranya dalam pemilu. 

Tidak hanya soal gaya kepemimpinan, dalam hal memutuskan pilihan politik milenial tidak tersekat pada prinsip ideologi yang kaku. Seorang Winston Churchill pernah berkata, "Jika kamu bukan seorang liberal pada usia 25 tahun maka kamu tidak memiliki hati, dan jika kamu tidak menjadi konservatif memasuki usia 35, maka kamu tidak memiliki otak." Prinsip ideologi tersebut cocok pada pemilih generasi sebelum milenial. Tapi berkebalikan dengan pemilih milenial. 

Riset Financial Times menunjukkan pemilih dari generasi X punya kecenderungan ideologinya semakin konservatif. Sebaliknya, pemilih milenial yang telah memasuki usia 40 tahun tidak terlalu terpengaruh ideologi konservatisme ini. Sebaliknya arah pilihan milenial lebih pragmatis dan banyak ditentukan situasi yang dihadapi atau dibutuhkan saat itu. 

Pragmatisme milenial dan generasi Z juga bisa terlihat dari tren mereka di media sosial. Kecenderungan milenial saat ini tidak suka hal yang bertele-tele dan memakan waktu. Ketimbang membaca buku 300 halaman atau bahkan menonton tayangan review yang berdurasi di atas 10 menit, milenial lebih suka melihat penggalan informasi berdurasi semenit via Tiktok. Tak heran kini muncul tren gaya konten super kilat nan padat dengan durasi kurang dari dua menit. Inilah salah satu sinyal pragmatisme milenial dalam menelaah informasi.

Terkait hal ini, kita bisa analisis pada situasi pada Pilpres 2024. Jika hipotesisnya adalah milenial menginginkan pemimpin yang inklusif dan melibatkan anak muda sebagai subjek utama, maka sekilas kita bisa mengatakan Prabowo lebih unggul dibanding Ganjar atau Anies. Ini karena hanya Prabowo menjadikan milenial sebagai subjek utama, yakni sebagai calon wakil presidennya via Gibran Rakabuming Raka. 

Namun di sisi lain banyak kritikus yang mengatakan bahwa proses Gibran sebagai cawapres menyalahi prinsip etika dan demokrasi. Ini terutama setelah peristiwa sidang perkara nomor 90 di MK soal syarat capres-cawapres. Lantas apa poin ini berpengaruh bagi milenial?

Terkait hal ini kita bisa menggunakan hipotesis kedua yakni soal pemilih milenial tidak terlalu ideologis, melainkan lebih pragmatis terhadap persoalan yang ada di hadapannya. Dari sejumlah data survei, nyatanya isu utama yang menarik atensi milenial bukanlah persoalan demokrasi, melainkan sisi ekonomi. Inilah yang bisa jadi menjawab mengapa serangan soal isu MK tidak terlalu berefek pada elektabilitas Prabowo-Gibran di mata milenial.

Satu hal lain yang membuat Prabowo-Gibran lebih berwarna milenial ketimbang pesaingnya adalah gaya politik yang mereka usung. Penetrasi politik mereka ke akar rumput lebih dimotori oleh kelompok anak muda. Bahkan TKN mereka membentuk divisi khusus pemilih muda, Tim Fanta, yang secara jeli menempatkan tokoh muda nonpartai yakni Muhammad Arief Rosyid Hasan sebagai pemimpin yang memperkuat kesan inklusif. Ini jadi gestur yang memberikan kesan bahwa anak muda mendapatkan ruang untuk terlibat aktif dalam politik.

Selain penetrasi di darat, di udara Prabowo-Gibran memainkan strategi politik yang light, tidak frontal, dan mengandalkan gimmick-gimmick jenaka di media sosial. Dengan konsep politik riang gembira, santun, dan santuy, nyatanya gaya ini kompatibel dengan selera milenial di media sosial. 

Sebagai gambaran, data dari Tiktok menunjukkan bahwa konten yang paling laku diserbu milenial dan gen Z adalah konten light atau santai yang terkait hiburan, komedi, serta gaya hidup. Konten-konten berat, seperti berita dan politik nyatanya tidak laku.

Walhasil, jika ada calon yang strategi udaranya selama ini hanya mengandalkan 10 menit monolog provokatif buzzer, maka gaya itu sangat tidak kompatibel dengan zaman milenial, melainkan lebih cocok bagi era "kolonial".

Satu hal lain yang perlu dicermati soal milenial Indonesia ini adalah mereka tak melihat politik secara hitam atau putih. Sebab realitanya politik dipandang mereka hanya pertarungan kepentingan. Ini bukan soal memilih pahlawan atau penjahat. 

Layaknya manusia biasa, semua calon dinilai punya rekam jejak kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Walhasil, para milenial hanya melihat calon mana yang paling mungkin membuka ruang bagi anak muda untuk terlibat. Anak muda tak butuh pahlawan, melainkan hanya butuh ruang agar mereka bisa menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri!

Layaknya sebuah adagium, "In the end, you have to be your own hero because everybody's busy trying to save themselves."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement