REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung aksi boikot terhadap produk pro-Israel yang belakangan meluas imbas praktik genosida yang dilakukan militer Israel di Gaza, Palestina. YLKI menilai, secara umum konsumen punya hak boikot produk bila perusahaan bersangkutan melakukan pelanggaran HAM.
“Jadi kalau barang tersebut diproduksi oleh produsen yang melanggar HAM, terlepas dari kasus Israel, konsumen memang harus melakukan perlawanan untuk tidak membeli itu,” kata Anggota YLKI, Tulus Abadi di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Seperti diketahui, aksi pembantaian yang dilakukan militer Israel terhadap warga sipil di Gaza, Palestina telah mendapat kecaman dunia. Konflik yang terjadi saat ini sudah dikategorikan sebagai kejahatan genosida karena serangan dilakukan terhadap fasilitas umum masyarakat, termasuk sekolah dan rumah sakit.
Tulus mengatakan, YLKI juga pernah melakukan kampanye boikot produk untuk beberapa barang yang dianggap melanggar HAM. Salah satunya Nike karena membayar buruh dengan upah yang sangat rendah.
“Aksi boikot dengan asumsi produsen melanggar HAM atau hukum atau tidak bayar pajak sebagai bentuk tanggung jawab konsumen, karena kalau kita konsumsi (produknya) kita ikut berkontribusi,” sambung Tulus.
Menurut dia, aksi boikot produk di luar negeri cukup efektif. Namun di Indonesia, sejauh pengamatan YLKI masih belum efektif. Hanya saja, lantaran aksi boikot kali ini berkaitan dengan isu konflik Israel-Palestina yang sensitif dan menyangkut keyakinan agama, maka bisa jadi efektif.
Tulus pun menuturkan, telah menanyakan kondisi penjualan ke salah satu restoran ayam cepat saji yang menjadi sasaran boikot. Menurut dia, berdasarkan petugas restoran tersebut, kunjungan konsumen turun hingga 50 persen dalam tiga pekan terakhir. “Itu artinya efektif, saya lihat di situ sepi juga,” ujar Tulus.
Oleh karenanya, YLKI menegaskan, aksi boikot terhadap produk merupakan murni hak konsumen. Boikot juga normal dilakukan di luar negeri sebagai bentuk protes luas kepada perusahaan yang bersangkutan.
Sebagai gantinya, masyarakat bisa memilih produk lain yang diyakini tidak melakukan pelanggaran. Namun, bagi produk yang memang tidak memiliki pengganti, mau tak mau akan tetap digunakan.