Senin 13 Nov 2023 10:39 WIB

Liga Arab tak Kompak Tekan Israel, Riyadh Summit Hasilkan Komunike Kabur tak Lugas

Draf 5 poin komunike tekan Israel lebih keras tak disetujui semua anggota Liga Arab.

Pangeran Arab Saudi, Mohemmed Bin Salman, menjadi tuan rumah Riyadh Summit di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023), membahas perang Israel-Hamas. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Jacquelyn Martin
Pangeran Arab Saudi, Mohemmed Bin Salman, menjadi tuan rumah Riyadh Summit di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023), membahas perang Israel-Hamas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Sabtu (11/11/2023), pemimpin dari negara-negara Muslim di dunia berkumpul di Riyadh, Arab Saudi, dalam tajuk Riyadh Summit. Awalnya, Riyadh Summit diselenggarakan hanya sebagai sarana pertemuan pemimpin dari 22 negara Liga Arab, namun kemudian, 57 pemimpin dari negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga diundang termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut hadir dalam pertemuan itu, menyusul eskalasi perang di Gaza yang semakin sengit.

Namun sangat disayangkan, komunike hasil Riyadh Summit bisa dibilang sebatas desakan, kecaman, bukan tekanan konkret terhadap Israel agar mau menghentikan agresi mereka di Gaza. Riyadh Summit menghasilkan komunike yang mengutuk, "Agresi Israel di Jalur Gaza, kejahatan perang dan pembantaian barbar tak berprikemanusiaan oleh pemerintah pendudukan."

Baca Juga

Riyadh Summit mendesak segera diakhirinya perang di Gaza dan menolak justifikasi aksi Israel terhadap warga Palestina sebagai bentuk pembelaan diri. Para pemimpin negara Muslim, juga meminta diakhirinya blokade di Gaza demi mempersilakan bantuan kemanusian masuk dan penundaan ekspor senjata ke Israel.

Diketahui kemudian bahwa, kedua pertemuan tingkat tinggi disatukan setelah Liga Arab gagal mencapai konsensus mengenai sikap bersama terhadap Israel. Menurut beberapa media internasional, termasuk AFP dan Channel 12, sejumlah negara Arab yang dimotori Aljazair mengajukan lima langkah nyata untuk menekan Israel agar mengakhiri perangnya di Gaza yang meletus setelah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyerang Israel pada 7 Oktober.

Kelima langkah itu adalah, mencegah alat-alat perang AS yang berada di berbagai pangkalan AS di Timur Tengah tak digunakan untuk Israel;  membekukan semua kontak diplomatik dan ekonomi dengan Israel; menggunakan minyak sebagai instrumen menekan Israel; melarang penerbangan ke dan dari Israel melalui wilayah udara Arab; mengirimkan delegasi Arab ke AS, Eropa, dan Rusia untuk mendorong gencatan senjata di Gaza. Libya malah meminta komunike Liga Arab mencantumkan kalimat bahwa rakyat Palestina berhak melawan pendudukan Israel.

Sebanyak 11 dari total 22 negara anggota Liga Arab, yakni Palestina, Suriah, Aljazair, Tunisia, Irak, Lebanon, Kuwait, Qatar, Oman, Libya dan Yaman, mendukung usul itu. Empat negara Arab menentang, dan sisanya abstain. Tak disebutkan negara Arab mana saja yang menolak dan abstain ini.

Namun, menurut seorang analis stasiun televisi Channel 12, negara-negara Arab yang tidak menyambut kelima usul langkah nyata menghadapi Israel itu, di antaranya adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Yordania, Sudan, Maroko, Mauritania, dan Djibouti. Ketidakkompakan Liga Arab ini kemudian dibahas lewat gabungan KTT dengan OKI. Namun, OKI ternyata juga tak mencantumkan kelima langkah nyata menekan Israel di atas dalam resolusinya.

 

OKI sudah meminta Presiden Jokowi menyampaikan pesan negara-negara Islam itu kepada AS, yang memang memiliki jadwal bertemu dengan Indonesia di Washington DC pada Senin (13/11 /2023). Presiden Jokowi juga mengunjungi AS dalam rangka menghadiri pertemuan tingkat tinggi negara-negara Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di San Francisco, mulai 15 sampai 17 November. 

photo
Negara-negara yang memilih bermusuhan dengan Israel. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

sumber : Antara/AFP/Channel12/Al Jazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement