Jumat 10 Nov 2023 13:08 WIB

Dikukuhkan Jadi Guru Besar, Rektor UMJ Jelaskan 4 Strategi Aktualisasi Pancasila

Rektor UMJ imbau hentikan aktualisasi Pancasila sebagai alat pemecah belah.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Erdy Nasrul
Ketua Senat UMJ Masyitoh Chusnan (kiri) menyematkan lencana kepada Rektor UMJ Mamun Murod disaksikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat prosesi pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (9/11/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Senat UMJ Masyitoh Chusnan (kiri) menyematkan lencana kepada Rektor UMJ Mamun Murod disaksikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat prosesi pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (9/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ma’mun Murod dikukuhkan menjadi guru besar ilmu politik pada Kamis (9/11/2023). Dalam pidatonya, dia menyampaikan empat hal terkait aktualisasi ideologi Pancasila. 

Pertama, melakukan radikalisasi Pancasila

Caranya melalui transformasi dari sikap pasif, apatis atau masa bodoh kepada sikap atau aktivisme yang lebih radikal, revolusioner atau militan. Secara das sollen dan das sein Pancasila harus bisa berjalan beriringan. Pancasila harus diletakkan secara benar dalam praktik bernegara. “Setiap kebijakan negara harus sungguh-sungguh mencerminkan dan mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila,” kata pria kelahiran Brebes tersebut. 

Baca Juga

Pancasila harus benar-benar dihadirkan pada ranah publik dengan wajah yang “berpihak” dan “membebaskan” masyarakat dari segala halangan menuju kemajuan.

Kedua, hentikan Pancasila sebagai pemecah belah

Dalam satu dasawarsa terakhir, Pancasila dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan polarisasi di masyarakat. Pancasila yang sejatinya sudah final direkayasa sedemikian rupa seolah-olah belum final. Seolah-olah ada dan jumlahnya besar masayarakat yang menolak Pancasila. Riset-riset soal Pancasila yang temanya selalu membenturkan Pancasila dengan Islam cukup marak dalam lima tahun terakhir. 

Hasil survei ini selalu mengekspos secara berlebihan persentase yang sangat kecil yang disebutnya menolak Pancasila sebagai dasar negara dibandingkan dengan mengekspose persentase yang begitu besar (selalu masih di atas 80 persen). Seolah berjamaah, kesimpulan survei-survei ini selalu menyudutkan umat Islam dengan tudingan intoleran, radikal, dan anti-Pancasila. Bahkan dengan keyakinan surveinya berani menyebut Indonesia sebagai “negara darurat intoleran”. 

Sebagai insan akademik tentu tak boleh anti pada hasil survei, Namun menurut Haedar Nashir, 116 penting memberi catatan kritis atas kajian surveisurvei tersebut lebih-lebih manakala dikonstruksi secara dangkal, linier, dan parsial karena tidak akan memadai dalam membaca dan menjelaskan Indonesia 

dengan keindonesiaannya yang kompleks. Bersamaan dengan itu hasil-hasil survei yang terbatas itu jika dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman tentang Indonsia dan keindonesiaan di era mutakhir, yang kemudian dapat membangun cara pandang yang melahirkan kebijakan yang tidak tepat seperti dalam menghadapi masalah radikalisme akhir-akhir ini. 

Ketiga, bangun kesamaan pemahaman

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement