REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memberikan batas waktu terakhir kepada masyarakat yang ingin mengajukan laporan terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Rabu (1/11/2023).
"Ya 'kan laporan Itu haknya warga. Kalau bisa, paling telat kalau memang ada yang mau melapor, kami tunggu hari Rabu," kata Jimly di Jakarta, Senin.
Seperti diketahui bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah mengubah frasa dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Setelah putusan itu, selengkapnya berbunyi: "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."
Jimly berharap masyarakat tidak mengajukan laporan yang sama terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik tersebut.
"Jadi, sekarang sudah ada 18 laporan, sudah nambah lagi dua laporan pada hari ini. Dari 18 laporan itu, ada enam isu. Kemudian, ada sembilan terlapor, tetapi laporan yang paling pokok, paling utama, paling banyak itu Pak Anwar Usman," ujar Jimly.
Sebelumnya, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa pihaknya menggelar dua sidang di Jakarta, Selasa (31/10/2023), atas laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Usai pertemuan tertutup dengan sembilan hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Senin, Jimly menyebutkan ada dua jenis sidang, yaitu sidang terbuka untuk memeriksa pelapor dan sidang tertutup untuk memeriksa hakim.
"Sidang pelapor pada pagi hari pukul 09.00 WIB, sedangkan sidang untuk hakimnya pada malam hari," ujarnya.
Selama sidang terbuka, kata Jimly, MKMK memberikan kesempatan kepada para staf ahli hakim terlapor dan pemohon untuk hadir.
Pada hari Senin (16/10/2023), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan hingga hari ini.