Ahad 22 Oct 2023 11:21 WIB

Santri, Pesantren, dan Perpustakaannya

Perpustakaan memiliki peran sangat penting dalam memproduksi pengetahuan baru.

Santri pondok pesantren membawa Alquran saku (ilustrasi).
Foto:

Yang Ideal, Yang Niscaya

Produksi pengetahuan santri melalui perpustakaan pesantren tidak diragukan lagi memang sudah sangat ajeg (firm). Proses tersebut terjadi bisa berlangsung tak lain karena tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri yang sudah sangat kuat dan akhirnya merambah ke dalam ruang perpustakaan di mana terdapat beragam koleksi kitab dan bahan pustaka yang bisa memperkaya keilmuan santri.

Namun ada faktor digital dan teknologi yang menjadi keniscayaan dalam abad disrupsi teknologi seperti sekarang. Begitu pun santri dan perpustakaan pesantren yang harus bisa beradaptasi dalam era ini. Ada beberapa hal yang idealnya dikembangkan perpustakaan pesantren.

Pertama, perpustakaan digital. Mungkin sudah banyak pesantren, salaf atau khalaf atau campuran, yang mengembangkan koleksi digital. Namun yang saya maksud di sini adalah perpustakaan digital terbuka yang bisa diakses secara luas, terlebih koleksi kitab-kitab klasik dan manuskrip ulama Nusantara yang dimiliki pesantren.

Dengan begitu, ruang untuk melakukan “bahtsul masail” akan terbuka lebih luas lantaran tak hanya dilakukan oleh para santri pesantren bersangkutan, tapi juga masyarakat yang memanfaatkan koleksi pesantren. Dalam hal ini, perpustakaan Sidogiri dan Tebuireng termasuk yang menjadi pionir.

Secara teknis, perpustakaan digital otomatis membuka fungsi repositori. Fungsi ini memudahkan santri menemukan informasi dari bahan pustaka di sebuah perpustakaan pesantren di manapun. Kita ambil contoh dari kisah Dimas di awal.

Jika perpustakaan digital dan fungsi repositori di perpustakaan pesantren berjalan, ia bisa saja mencari informasi sejarah Majenang dari koleksi perpustakaan digital di perpustakaan Pesantren Miftahul Huda Cigaru—pesantren tertua di Cilacap, didirikan pada 1910 oleh Kyai Abdul Majid. Atau, lebih luas lagi, bisa saja penyebaran karya-karya ilmu ulama Nusantara bisa dengan mudah dilacak dengan penelusuran informasi melalui fungsi repositori ini.

Kedua, preservasi kitab-kitab klasik dan manuskrip. Untuk hal ini sudah saya singgung sedikit. Yang ingin saya tekankan di sini ialah upaya preservasi kitab-kitab klasik dan manuskrip yang masih disimpan secara pribadi oleh ahli waris pesantren atau kerabat pengasuh pesantren.

Tidak sedikit manuskrip karangan pendiri pesantren atau karangan ulama Nusantara lainnya disimpan secara pribadi oleh kerabat pengasuh pesantren. Inilah yang perlu dilacak oleh tiap-tiap pesantren itu sendiri agar bisa dilakukan upaya preservasi secara isi maupun fisik, kemudian bentuk digitalnya dilayankan di perpustakaan pesantren. Setelahnya, tentu akan menjadi salah satu bagian dari perpustakaan digital pesantren.

Ketiga, membentuk jejaring perpustakaan pesantren. Koleksi bahan pustaka dan tradisi produksi pengetahuan menjadi ciri khas tersendiri bagi perpustakaan pesantren. Dengan membentuk jejaring, setiap perpustakaan pesantren bisa saling bertukar pengetahuan (knowledge) atau bahkan memproduksi pengetahuan baru lainnya.

Layanan interlibrary loan (pinjam antarperpustakaan) antar-perpustakaan pesantren pun bisa dilakukan, minimal dalam bentuk koleksi digital.

Jejaring bisa dimulai dengan membentuk sebuah forum komunikasi. Dari sana barulah dirancang program bersama untuk melakukan pengembangan jejaring perpustakaan pesantren. Yang jelas, perpustakaan pesantren tidak bisa berdiri sendiri.

Namun untuk bisa menjadikan semua itu nyata, memang dibutuhkan peran penting dari pemangku kepentingan dan pemangku kebijakan. Dari segi kebijakan, pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Agama dalam urusan pengembangan pesantren dan Perpustakaan Nasional RI dalam urusan perpustakaan, mestinya bisa mengambil inisiatif langkah kebijakan strategis mengenai ini. Perpustakaan Nasional RI bisa menambahkan klausul perpustakaan pesantren dalam revisi Undang-Undang Perpustakaan yang saat ini sedang dibahas.

Jika sudah ada payung hukum yang jelas, mungkin lembaga lain juga bisa bergerak. Misalnya, perguruan tinggi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), atau lembaga lainnya dalam urusan produksi pengetahuan baru melalui perpustakaan pesantren.

Jika ekosistem skala nasional ini terbentuk, bukan tak mungkin perpustakaan pesantren di seantero Indonesia bisa mengambil peran besar seperti Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Baitul Hikmat adalah perpustakaan sekaligus pusat ilmu pengetahuan yang didirikan Daulah Abbassiyah pada abad ke-8 di Baghdad.

Baitul Hikmah tak hanya mengumpulkan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan, tapi juga menerjemahkan beragam pengetahuan (knowledge) itu, menganalisisnya, mempelajarinya, mengembangkannya, kemudian menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang ada ke setiap sendi kehidupan.

Hingga akhirnya membawa Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan selama kurang lebih lima abad. Jika mengingat luasnya khazanah pengetahuan dan tradisi produksi pengetahuan yang ada dalam perpustakaan pesantren, bukan tidak mungkin Indonesia bisa memiliki kesempatan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement