Ahad 22 Oct 2023 11:21 WIB

Santri, Pesantren, dan Perpustakaannya

Perpustakaan memiliki peran sangat penting dalam memproduksi pengetahuan baru.

Santri pondok pesantren membawa Alquran saku (ilustrasi).
Foto: Antara
Santri pondok pesantren membawa Alquran saku (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Mahbub Alfathon, Filolog di Perpustakaan Nasional RI dan fellow researcher di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI)

Dimas Puspawijaya, santri tingkat IV Pesantren Karanggedang, Cilacap, terus membuka lembaran demi lembaran buku tentang sejarah Cilacap. Rasa-rasanya, kata dia kepada saya pada medio Oktober 2021 di pojok perpustakaan Pesantren Karanggedang, ada sekelumit riwayat tentang Majenang dalam buku tersebut.

Majenang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cilacap. Di kecamatan ini, tepatnya di Desa Salebu, Pesantren Karanggedang didirikan sejak 2011 oleh Allahuyarham KH Munaji Abdul Qohar dan kini diteruskan oleh putranya, Gus Faisal Kamandobat.

Meski perpustakaannya terhitung baru, animo santri sangat tinggi terhadap bahan pustaka yang terdiri dari berbagai macam subjek ini. Seperti halnya Dimas dan kawan-kawan santri tingkat IV lainnya yang saya temui siang itu. Mereka mencari sumber referensi untuk mengerjakan tugas mata pelajaran Kanca Sinau, program yang ada di Pesantren Karanggedang di luar mata pelajaran diniyah (keagamaan) untuk menempa santri dalam kegiatan menulis dan berpikir kritis.

“Nah kan, betul ana (ada -bahasa jawa),” ujar Dimas, 18 tahun, dengan logat Banyumasannya yang kental, sambil menepuk pundak teman di sebelahnya yang sedang membaca buku sejarah lainnya. “Alhamdulillah ketemu.”

Memang demikianlah seharusnya peran paling dasar dari perpustakaan, entah di manapun itu, termasuk di perpustakaan pesantren: memberikan khazanah pengetahuan baru. Pembahasan mengenai perpustakaan pesantren tampaknya akan menjadi lebih penting dalam pekan perayaan Hari Santri seperti sekarang ini.

Pertama, isu perpustakaan pesantren sampai saat ini belum menjadi perhatian khusus para pemangku kepentingan. Padahal di banyak pesantren, perpustakaan memiliki peran sangat penting dalam memproduksi pengetahuan baru, baik bagi para santri maupun masyarakat di sekitar pesantren. Kedua, belum ada arah khusus pengembangan perpustakaan pesantren sebagai salah satu isu strategis di dalam sistem pengembangan literasi dan pendidikan nasional.

Corak Perpustakaan Pesantren

Upaya untuk mengembangkan perpustakaan pesantren sebagai sebuah ruang produksi pengetahuan bagi para santri sudah dimulai sejak 1936. Kala itu KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Muhammad Ilyas yang menjadi pelopor pendirian perpustakaan di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Perpustakaan pertama di lingkungan pesantren ini termasuk terobosan besar. Selain itu juga menjadi langkah yang sangat inovatif pada masa itu di mana memang belum pernah dilakukan oleh pesantren manapun di Indonesia.

Tujuan utama pendirian Perpustakaan Pesantren Tebuireng sebetulnya guna mendukung kegiatan pengembangan intelektual Ikatan Pelajar Islam (IPI) yang mayoritas anggotanya adalah para santri. Perpustakaan ini dicanangkan menjadi gerbang masuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan sekuler (di luar pengetahuan agama) sekaligus mendapatkan informasi mengenai kondisi teraktual dari dalam dan luar negeri. Setidaknya ada 500 judul buku dan surat kabar, seperti Panji Islam, Berita Nahdlatoel Oelama’, Penjebar Semangat, Pudjangga Baru, dan Al Munawwarah menghiasi rak-rak di perpustakaan ini ketika pertama kali dibuka.

Peran Perpustakaan Pesantren Tebuireng baru dikembangkan dalam skala yang lebih besar oleh KH  Abdurrahman Wahid, putra KH Abdul Wahid Hasyim, pada 1974, ketika ia menjabat sebagai sekretaris pesantren. Ulama nyentrik yang karib disapa Gus Dur ini mendesain perpustakaan yang kemudian diberi nama Perpustakaan Abdul Wahid Hasyim itu agar bisa menjadi sebuah laboratorium keilmuan Islam.

Ia membagi koleksi, yang terdiri dari manuskrip, kitab-kitab klasik, buku-buku kontemporer, maupun terbitan berkala, ke dalam 11 klaster. Antara lain, yaitu tafsir, hadis, fikih, tasawuf, bahasa, kamus dan ensiklopedia, sejarah, sosiologi agama, politik dan ekonomi Islam, serta budaya. Masing-masing klaster memiliki kelompok ahli baca yang diberi tantangan untuk memberikan pemecahan masalah-masalah sosial termutakhir berdasarkan klasternya.

Satu hal yang patut kita cermati di sini, Gus Dur berusaha menawarkan perpustakaan pesantren sebagai salah satu jalan keluar untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat. Jika pesantren bisa memberikan solusi dari perspektif agama, perpustakaan pesantren dipercaya bisa menawarkan pemecahan yang lebih multi-sudut pandang, lebih multidimensional.

Hal serupa dilakukan perpustakaan Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Perpustakaan yang dibangun pada 1973 ini pula tampil sebagai laboratorium keilmuan bagi para santrinya. Perpustakaan Pesantren Sidogiri kerap menginisiasi forum diskusi (bahtsul masail) untuk membahas sekaligus mencari persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.

Dalam forum tersebut, para santri—atas bimbingan satu sampai dua kyai—dengan serius menekuni banyak kitab di perpustakaan Pesantren Sidogiri. Jika jawaban tidak ditemukan dalam satu kitab, mereka berpindah ke kitab lain. Atau, jika sebuah jawaban ditemukan dalam sebuah kitab tapi masih butuh penjelasan tambahan, maka para santri akan membuka kitab berbeda untuk mencarinya.

Bermula dari satu rak buku dan kitab yang ada di kantor sekretariat pondok Pesantren Sidogiri, kini perpustakaan tersebut telah menjadi repositori kitab kuning terlengkap se-Asia Tenggara dengan jumlah mencapai lebih dari 12 ribu kitab. Termasuk di dalamnya karya ulama-ulama Nusantara yang ditata dalam rak khusus. Tak hanya kitab klasik, ada juga koleksi buku dari berbagai macam klaster ilmu di perpustakaan ini untuk menambah referensi pengetahuan para santri.

Pesantren Tebuireng dan Sidogiri memang lebih dekat dengan kultur tradisional (salaf) yang mengedepankan tradisi kitab-kitab klasik baik dalam pengembangan literasi santri maupun pengembangan peran perpustakaannya. Lokasi perpustakaan di pesantren yang berbasis salaf juga biasanya berada di jantung kawasan pesantren agar dekat dengan santri dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh mereka.

Corak maupun fungsi perpustakaan di pesantren salaf tersebut sedikit berbeda dengan perpustakaan di pesantren modern (khalaf). Proses pembelajaran para santri di pesantren model ini tidak berlandaskan pada tradisi kitab klasik, melainkan mengedepankan kurikulum madrasah formal.

Jika pesantren bercorak tradisional membangun perpustakaannya di tengah kawasan pesantren, perpustakaan di pesantren berpatron khalaf umumnya tersebar di madrasah-madrasah formal semua tingkat yang didirikan. Misalnya ada madrasah ibtidaiyah (dasar), tsanawiyah (menengah pertama), aliyah (menengah atas), madrasah tinggi (sekolah tinggi atau universitas), dalam sebuah pesantren khalaf, perpustakaannya pun biasanya ada di tiap-tiap madrasah tersebut untuk membantu proses pembelajaran para santri.

Di perpustakaan pesantren khalaf, sebagian besar koleksinya terdiri dari koleksi umum kontemporer. Mulai dari yang berbahasa Indonesia hingga yang berbahasa asing. Meskipun tetap ada beberapa koleksi kitab, tapi jumlahnya tidak begitu signifikan karena memang dari tradisi keilmuan yang dijalankan tidak mengharuskan merujuk pada jenis koleksi tersebut.

Karena perpustakaannya bersifat pendamping madrasah yang ada, koleksi bahan pustakanya cenderung mengikuti tingkatan madrasah. Selain itu, umunya juga ada koleksi terbitan berkala, seperti surat kabar dan majalah dan perpustakaan digital yang biasanya bisa diakses melalui komputer di perpustakaan.

Selain salaf dan khalaf, ada satu lagi model pesantren yang berkembang di Nusantara, yakni yang menjalankan keduanya. Agar lebih mudah, kita sebut saja sebagai “model campuran”. Pola ini biasanya dijalankan oleh pesantren salaf yang kemudian menjalankan madrasah formal.

Sebetulnya Tebuireng dan Sidogiri juga bisa dimasukkan ke dalam tipe ini. Alasannya karena keduanya telah menyelenggarakan madrasah formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sembari tetap menggelar pendidikan diniyah berbasis tradisi kitab kuning.

Perpustakaan pesantren model campuran ini kurang lebih mengembangkan model perpustakaan yang ada di salaf dan khalaf. Cuma ada yang menarik dalam perpustakaan pesantren ragam ini. Selain kaya akan koleksi khazanah kitab kuning dan produksi pengetahuan yang dilakukan terus-menerus melalui forum bahtsul masail, perpustakaan di pesantren model ini juga mulai mengedepankan upaya pelestarian informasi dalam bentuk preservasi bahan pustaka.

Pertengahan tahun lalu, perpustakaan Tebuireng bersama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah melakukan digitalisasi belasan manuskrip koleksi perpustakaan pesantren. Ikhtiar yang termasuk dalam program digital repository of endangered and affected manuscripts in Southeast Asian (DREAMSEA) ini menjadi salah satu langkah penyelamatan informasi yang terkandung dalam manuskrip agar tidak hilang jika fisik manuskripnya rusak.

Sekadar informasi, manuskrip—atau biasa juga disebut naskah kuno—adalah dokumen tertulis yang tidak dicetak atau diperbanyak dengan cara lain. Medianya berbahan lunak, seperti daluang (kertas dari kulit kayu), ron tal (daun dari pohon tal/siwalan), daun pohon gebang, dan kertas Eropa atau Cina. Sesekali juga ada manuskrip dari selongsong bambu. Dalam konteks pesantren, bahan-bahan tersebutlah yang kerap dipakai ulama-ulama terdahulu untuk menulis atau menyalin kitab yang salah satunya mungkin kita kenal saat ini.

Sampai sekarang, sebetulnya masih banyak pesantren salaf yang mengoleksi manuskrip hasil warisan turun-temurun. Namun sayangnya, tidak semua mau “membuka pintu” agar manuskrip-manuskrip tersebut bisa diteliti, atau setidaknya dipreservasi secara digital. Atau, dalam kasus lain, koleksi manuskrip tersebut bukan menjadi bagian dari perpustakaan pesantren sehingga tak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh para santri.

Padahal, kalau saja upaya preservasi koleksi manuskrip “yang terlupakan” itu bisa dilakukan seperti di Tebuireng, dan hasil digitalisasinya bisa menjadi koleksi bahan pustaka perpustakaan pesantren, tentu bisa memperkaya khazanah pengetahuan. Tak hanya bagi para santri, melainkan juga kepada khalayak yang lebih luas. Koleksi digital manuskrip maupun kitab-kitab klasik tidak hanya memperkaya koleksi perpustakaan pesantren, tapi juga memperluas spektrum peranan perpustakaan pesantren itu sendiri.

Mau bagaimanapun corak pesantrennya, ada satu batu pijakan yang sama di antara semuanya, yakni pandangan para santri untuk mengagungkan ilmu pengetahuan. Santri sangat mempercayai apa yang diajarkan Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi dalam kitabnya Ta’lim al muta’allim thariq at-ta’alum, untuk mengagungkan ilmu salah satunya ialah dengan memuliakan kitab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement