Selasa 17 Oct 2023 23:50 WIB

Pengamat: Putusan MK Tunjukkan Kemunduran Demokrasi

Yance menilai seharusnya segera Anwar Usman diperiksa Majelis Kehormatan MK.

Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Foto: Republika/Prayogi
Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menunjukkan kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi hakim konstitusi. Putusan MK tersebut terkait batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Putusan tersebut buka saja menunjukkan kemunduran demokrasi, tetapi juga kemerosotan independensi hakim konstitusi," kata Yance di Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Baca Juga

Dia heran dengan salah satu hakim yang memiliki hubungan kerabat dan kepentingan langsung terhadap pihak berperkara ikut memutuskan perkara ini. Menurut Yance, hal ini menjadi bentuk pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Prinsip Kedua Angka 5 huruf b Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Yance mengatakan, seharusnya segera dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk mengusut dugaan pelanggaran kode etik tersebut. Ia menegaskan, jika terbukti ada kode etik yang dilanggar, maka Ketua MK Anwar Usman bisa dinyatakan bersalah dan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi.

Sementara, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia capres-cawapres, hanya untuk kepentingan penguasa. "Jadi, ya, kelihatannya memang ini desain TSM, atau bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, dari kelompok tertentu," kata Ujang.

Menurut Ujang, hakim-hakim konstitusi seharusnya bisa mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ujang menyebut situasi tersebut sebagai permainan politik tingkat tinggi menjelang Pemilu 2024, dimana instrumen dan institusi hukum di Indonesia bisa dikendalikan oleh pihak penguasa.

photo
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023). - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement