Senin 16 Oct 2023 18:22 WIB

Putusan MK yang Dinilai Vulgar Hanya Memihak Kepentingan Keluarga Jokowi

Putusan MK dinilai hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan.

Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Foto: Republika/Prayogi
Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) memutuskan mengabulkan permohonan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A yang ingin mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Putusan ini pun berbeda dengan putusan perkara sejenis lainnya yang dibacakan MK pada hari ini, di mana MK menolak uji materi terkait batas usia capres-cawapres.

Baca Juga

Dalam pertimbangannya, hakim MK menerima permohonan Almas yang mengaku mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka karena banyak anak muda ditunjuk sebagai pemimpin. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja, incertus tamen, menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat/setara.

Gugatan ini pun dikaitkan dengan upaya mengakomodasi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu menjadi cawapres pendamping capres Prabowo Subianto. Gibran yang kini berusia 36 tahun dan menjadi kepala daerah, dengan keputusan MK maka Gibran, meski secara umur belum memenuhi syarat, tetapi bisa maju sebagai cawapres karena menjabat wali kota.

Pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran Rakabuming Raka. Hal ini karena meski MK menolak soal usia, tetapi putusan tersebut memasukan syarat lain bagi yang di bawah usia 40 tahun, yakni pernah menduduki jabatan yang didapat melalui pemilihan, termasuk Pilkada.

Ini berarti Gibran lolos syarat ini sebagai cawapres atau capres karena faktor pernah menjabat dalam jabatan negara melalui Pilkada Kota Surakarta.

 

"MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi subtansi putusan itu jelas mengelabui penggugat, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi," ujar Dedi dalam keterangannya, Senin (16/10/2023).

Dedi pun menilai, putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres. Sebab, jika putusan batas usia dikabulkan maka semua warga negara bisa maju tanpa terkecuali. Namun, dengan hanya dikabulkannya klausul minimal pernah berpengalaman menjadi kepala daerah hanya mengakomodasi pihak yang ada di kekuasaan.

"Tetapi dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik," ujarnya.

 

photo
Karikatur Opini Republika : Musim Tanam Janji - (Republika/Daan Yahya)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement