Jumat 13 Oct 2023 18:45 WIB

Komitmen Omong Kosong Netanyahu tentang Status Quo

Netanyahu melanggar Status Quo larangan umat Yahudi mengunjungi Bukit Bait Suci.

Dome of Rock. Sejak tahun 2017 orang Yahudi diam-diam diperbolehkan berdoa di Bukit Bait Suci oleh polisi Israel.
Foto:

Bukit Bait Suci memiliki 11 gerbang masuk. Setiap gerbang dijaga polisi Israel yang menanyakan identitas peziarah dan agama mereka. Berdasarkan Status Quo, jika yang datang kaum Muslimin, mereka diizinkan masuk melalui salah satu dari 10 gerbang. Jika non-Muslim yang berkunjung, mereka hanya boleh masuk dari satu akses bernama Gerbang Mughrabi yang paling dekat dekat dengan Tembok Ratapan.  

Gerbang Mughrabi dibuka dua kali sehari pada jam tertentu. Tidak setiap saat, setiap waktu. Polisi Israel mengingatkan antrean peziarah non-Muslim bahwa mereka hanya diperkenankan berjalan mengitari kawasan Bait Suci. Tidak boleh berdoa, tidak boleh melakukan ritual peribadatan, baik berdiri atau tengkurap (prostrating), tidak boleh mengibarkan bendera Israel, tidak boleh meneriakkan agitasi politik atau keagamaan, bahkan frasa pendek “Shema Israel” (“Dengarkan hai orang Israel”) yang merupakan mitzvah (perintah rohani) di awal doa-doa umat Yahudi. Siapa pun yang melanggar larangan akan ditangkap polisi Israel saat itu juga.

Secara umum larangan itu ditaati umat Yahudi yang berkunjung. Baik dari Israel maupun luar Israel. Namun, beberapa tahun belakangan semakin banyak Yahudi radikalis dan ultranasionalis yang sengaja melanggar larangan.

“Sejak tahun 2017, orang Yahudi diam-diam diperbolehkan berdoa di Bukit Bait Suci (oleh polisi),” ujar Eran Tzidkiyahu, doktor ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem (Hebrew University of Jerusalem).

Nir Hasson, jurnalis koran terkemuka Israel, Haaretz, menengarai hal serupa. “Polisi Israel penjaga kompleks Al Aqsha semakin memberikan kebebasan kepada pengunjung Yahudi sejak 2017,” katanya. “Mereka telah berubah dari sebuah lembaga profesional yang menjaga hukum (Status Quo) menjadi lembaga yang melindungi para pelanggar hukum.”

Pelanggaran semakin terang benderang sejak Itamar Ben Gvir menjadi Menteri Keamanan Nasional pada 2022. Kedatangannya ke Bukit Bait Suci bukan saja melanggar kebijakan warisan Jenderal Moshe Dayan dan hukum Taurat, juga membuat kelompok Yahudi ultranasionalis seperti Beyadenu yang dipimpin Tom Nisani kian berani mengampanyekan agar orang Yahudi dari seluruh dunia berbondong-bondong mendatangi Bukit Bait Suci melalui program “Beyadenu – Returning to the Temple Mount”.

Bagi Beyadenu dan kelompok ultranasionalis Yahudi, kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari 1967 dinilai belum cukup dan masih belum sempurna jika mereka masih belum bisa datang dan berdoa di Bukit Bait Suci kapan saja mereka suka. Jika mereka bertemu polisi Israel penjaga gerbang yang masih tegas menegakkan larangan, maka Beyadenu tak akan segan menyebut petugas itu diskriminatif terhadap warga Israel sendiri, termasuk menyebarluaskan video dan nama sang petugas di kanal medsos mereka.

Pelanggaran demi pelanggaran yang kian masif dari kaum Yahudi radikal dan ultranasionalis yang seakan dibiarkan pemerintahan Netanyahu inilah yang membuat Hamas naik pitam dan menjadikannya sebagai salah satu justifikasi mereka melakukan Operasi Topan Al Aqsha, Sabtu lalu. Selain justifikasi mengenai kondisi memprihatinkan warga Gaza yang selalu dikontrol ketat tentara Israel.  

Inilah salah satu pekerjaan rumah sangat mendesak yang harus ditangani Benjamin Netanyahu, perdana menteri terlama dalam sejarah Israel--total memerintah sudah 16 tahun--yang pada 2015 sangat berapi-api menyatakan komitmen pemerintahannya untuk tetap menjalankan Status Quo di Bukit Bait Suci, tetapi gagal membuktikan janjinya dalam tahun-tahun terakhir.

Jika Netanyahu tetap mempertahankan sosok radikal seperti Itamar Ben Gvir di kabinetnya sebagai Menteri Keamanan Nasional, serta tidak melarang kelompok ultranasionalis seperti Beyadenu yang terus memprovokasi umat Yahudi untuk mendatangi Bukit Bait Suci, maka sejatinya Pemerintahan Israel sendiri yang enggan menciptakan perdamaian abadi seperti keinginan Jenderal Moshe Dayan dan para rabi yang masih memegang teguh hukum Taurat. Apa yang disebut Netanyahu sebagai komitmen pada kenyataannya tak lebih dari omong kosong belaka.

Bahkan, sekiranya tentara Israel pun mampu mengalahkan Hamas pada perang ini, seperti terjadi pada beberapa pertempuran hebat sebelumnya (2008, 2012, 2014, 2021), potensi pecahnya perang serupa—bahkan lebih dahsyat—tetap masih bisa terulang di masa depan dengan salah satu korban terbesar yang tak bisa dihindarkan adalah masyarakat sipil Israel sendiri, terutama dari kalangan rakyat kebanyakan. Bukan kalangan Yahudi kaya-raya yang berbondong-bondong membanjiri bandara internasional Ben Gurion dan terbang keluar negeri, ke Amerika Serikat atau Eropa Barat, untuk mencari selamat.

Inilah salah satu kontradiksi besar pemerintahan dan masyarakat Israel terhadap Jenderal Moshe Dayan, yang mereka gadang-gadang sebagai Pahlawan Yahudi Perang Enam Hari dan selalu diagung-agungkan dalam setiap ucapan dan tulisan, tetapi sesungguhnya mereka nistakan warisan kebijakannya secara terang benderang tanpa basa-basi.

Cibubur, 13 Oktober 2023

*Penulis adalah sosiolog, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional dan National Writer’s Award 2021 Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA, mantan redaktur kompartemen luar negeri majalah berita Gatra dan Tempo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement