REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Saat ini sejumlah negara tengah mengupayakan cakupan kesehatan semesta atau universal health coverage (UHC) bagi penduduknya. Peran sistem jaminan sosial kesehatan berskala nasional yang diterapkan di masing-masing negara mengambil peranan penting untuk memastikan kualitas layanan dan memastikan akses kesehatan yang setara bagi warga negara.
Hal ini yang menjadi fokus The ISSA Technical Seminar bertajuk Improving Health Insurance Systems, Coverage and Service Quality yang diselenggarakan oleh ISSA Technical Commission on Medical Care and Sickness Insurance (TC Health) dan ISSA Liaison Office for East Asia National Health Insurance Service, berkolaborasi dengan National Health Insurance Service (NHIS), Korea Selatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti yang saat ini dipercaya sebagai Ketua TC Health ISSA (Komisi Kesehatan) mengungkapkan dalam perjalanan sebuah negara mencapai UHC tentu membutuhkan komitmen politik yang kuat terhadap pemenuhan hak kesehatan bagi warga negara.
Dirut juga menyorot bagaimana komitmen tersebut harus jelas diamanatkan dalam konstitusi atau perundangan tertinggi dalam sebuah negara. Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia, sistem jaminan sosial kesehatan merupakan sebuah mandatory yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diejawantahkan melalui Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
”Hampir 1 dekade Indonesia implementasi Program JKN, tentu tidak sedikit menemui sejumlah tantangan. Di awal implementasi tahun 2014-2021 bisa dikatakan merupakan sebuah proses transformasi dan adaptasi dalam penerapan sistem pembiayaan sambil terus memperluas cakupan kepesertaan. Apalagi program ini menawarkan akses layanan kesehatan yang luas dan komprehensif. Kini di tahun 2021-2026 program ini akan terus beradaptasi khususnya dalam mencapai tujuan peningkatan mutu layanan serta mengukuhkan BPJS Kesehatan menjadi organisasi yang andal,” kata Ghufron, Selasa (10/10).
Sebagai ketua TC Health, Ghufron juga menyoroti bagaimana sebuah negara harus senantiasa adaptif dan terus berinovasi agar jaminan kesehatan bagi warga negara dapat terpenuhi. Kehadiran Program JKN secara signifikan meningkatkan akses layanan kesehatan melalui perluasan kerja sama dengan fasilitas kesehatan.
Walaupun perkembangan kerja sama fasilitas kesehatan terus meningkat namun rasio terhadap pemenuhan dokter dan kebutuhan pasien masih belum memenuhi target WHO. Per April 2023, rasio dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terhadap masyarakat sebesar 1:6.526 atau 0,15:1000, sementara menurut standar WHO adalah 1:1000.
Apalagi menurut Ghufron, Indonesia merupakan wilayah kepulauan dan dengan jumlah penduduk mencapai + 275 juta jiwa. Melihat kondisi tersebut, BPJS Kesehatan harus terus beradaptasi mengembangkan berbagai inovasi agar peserta dapat tetap terlayani dengan baik. Salah satu langkah nyata yang telah diambil BPJS Kesehatan adalah peningkatan akses layanan kesehatan bagi peserta JKN, terutama bagi masyarakat yang berada di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat (DBTFMS).
Kerja sama dengan rumah sakit apung/bergerak telah memberikan solusi untuk memastikan bahwa masyarakat di daerah-daerah terpencil pun dapat merasakan manfaat layanan kesehatan yang memadai. Ini hanyalah salah satu contoh dari upaya nyata BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan yang inklusif.
Ghufron kembali mencontohkan, saat ini Program JKN telah memiliki ekosistem JKN yang kuat dan saling terhubung melalui pemanfaatan teknologi informasi berbasis digitalisasi. Inovasi layanan kesehatan berbasis digitalpun terus bertumbuh, misalnya aplikasi Mobile JKN yang terus menerus mengembangkan fitur layanan untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi pelayanan kesehatan. Terbaru, terdapat inovasi i-Care JKN untuk mengadaptasi dan memudahkan kebutuhan informasi dokter tentang riwayat kesehatan pasien.
Menjawab tantangan keberlangsungan program, penyelenggara jaminan sosial juga harus adaptif dalam mengembangkan inovasi pembiayaan. Terlebih, saat ini pembiayaan kesehatan akan makin banyak tergerus akibat penyakit kronis tidak menular yang berbiaya katastropik, adanya penuaan populasi yang memiliki risiko kesehatan, serta antisipasi terhadap penyakit-penyakit akibat perubahan alam dan lingkungan hidup.
Selain itu menurut dia, penyelenggara jaminan sosial harus senantiasa berinovasi dalam hal memastikan pembiayaan layanan kesehanan dapat terus terpenuhi. Di Indonesia, BPJS Kesehatan memberikan kemudahan dan perluasan akses pembayaran iuran, mengembangkan program rehabilitasi iuran bagi peserta yang bermasalah dengan ability to pay serta terus melakukan edukasi untuk menjawab tantangan willingness to pay.
"Kami juga meningkatkan efektivitas pembiayaan melalui sistem kapitasi berbasis kinerja pada FKTP, pemberian uang muka pelayanan kesehatan, dll. Selain itu kami juga mengembangkan model pembiayaan untuk meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan melalui Supply Infrastructur Financing yang bekerja sama dengan mitra perbankan,” ungkap Ghufron.
ISSA adalah asosiasi lembaga jaminan sosial yang beranggotakan 160 negara di dunia dan mempercayakan Indonesia dalam hal ini BPJS Kesehatan sebagai salah satu Ketua Komisi Teknis (Technical Commission) ISSA dari 13 Komisi Teknis yang dibentuk. Komisi Kesehatan ISSA (TC Health) terdiri dari negara Algeria, Argentina, Belgia, Perancis, Gabon, Georgia, Hungaria, Indonesia, Iran, Kazakhstan, Korea, Peru, Rusia, Rwanda, Turki, dan Uruguay.