Kamis 05 Oct 2023 16:32 WIB

Pengamat Ingatkan Potensi Konflik Agraria karena Inkonsistensi HGU

Ada pebedaan standar pusat dan daerah bisa memunculkan kegaduhan.

Perkebunan sawit membuka peluang terbukanya lapangan kerja, pengembangan ekonomi. Foto ilustrasi truk mengangkut sawit.
Foto: Antara/Budi Candra Setya
Perkebunan sawit membuka peluang terbukanya lapangan kerja, pengembangan ekonomi. Foto ilustrasi truk mengangkut sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Pusat Studi Sawit IPB Budi Mulyanto mengatakan, pemerintah perlu mewaspadai adanya potensi konflik agraria lantaran adanya inkonsistensi di level pusat dan daerah, terkait dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) industri sawit nasional.

Hal ini, menurut dia, disebabkan adanya perbedaan standar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa memicu kegaduhan. Akar persoalannya adalah dimasukkannya HGU yang telah dikantongi pelaku usaha ke dalam kawasan hutan oleh pemerintah daerah.

Budi Mulyanto mengatakan, HGU adalah salah satu bentuk Hak Atas Tanah (HAT) yang diberikan oleh negara berdasarkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau UU PA.

"Jika HAT yang telah terbit sah berdasarkan hukum negara, kemudian dimasukkan ke dalam kawasan hutan, ini akan menimbulkan berbagai persoalan agraria di lapangan yang ujungnya akan terjadi sengketa-konflik agraria," kata Budi, dalam siaran pers, Rabu (4/10/2023).

Regulasi turunan dari UU PA pun amat beragam, dan HGU akan diterbitkan oleh pemerintah selama memenuhi seluruh ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Seluruh kawasan yang tercakup dalam HGU itu pun telah terverifikasi dengan baik dan resmi melalui sebuah panitia yang anggotanya berasal dari berbagai instansi termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Apabila akibat sengkarut perizinan ini menimbulkan konflik agraria, menurut Budi, pemerintah akan dirugikan. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu penghasil sawit terbesar di dunia.

Sebab sektor bisnis ini pun memberikan efek berganda yang besar terhadap perekonomian, mulai dari pemberdayaan masyarakat hingga aktivitas ekspor. "Sawit yang berkontribusi nyata dalam penyediaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi lokal, regional, nasional maupun global,” ungkap Budi.

Dia menambahkan, tanah yang mendapatkan HGU adalah area yang telah bebas dari status kawasan hutan, konflik perizinan, garapan masyarakat, kayu atau hasil hutan, peta moratorium izin, dan inti-plasma. Sehingga, ketika telah mendapatkan HGU maka lahan tersebut dinyatakan sepenuhnya layak dan legal untuk dimanfaatkan menjadi kawasan produktif.

"Jadi kalau HGU telah diterbitkan selayaknya hukum negara melindungi dan jangan diganggu-ganggu lagi. Jangan pula dimasukkan ke dalam status kawasan hutan,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement