REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tidak mudah menemukan fosil Homo floresiensis di gua Liang Bua. Arkeolog harus menggali sedalam 6 meter untuk mencapai titik temuan. Hal ini diungkapkan arkeolog penemu fosil ‘hobbit’ Flores tersebut, E Wahyu Saptomo dalam diskusi memperingati 20 tahun penemuan Homo floresiensis, kemarin.
Tim arkeolog yang dipimpin Thomas Sutikno membuka beberapa kotak gali berukuran 2 x 2 meter di situs Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Situs ini berada di sebuah gua yang amat luas. Udara di dalam gua amat sejuk. Lokasi gua di perbukitan kapur. Sekitar 200 meter di bawah gua terdapat sungai dan persawahan.
Wahyu kebagian menggali di dalam gua di sektor 7. Ia sudah menggali di kotak ekskavasi berhari-hari. Namun, ia belum menemukan artefak yang signifikan. “Di kotak saya jarang ada temuan. Makanya digali agak cepat,” kata dia membuka kisahnya.
Temuan artefak di beberapa kotak gali memang beragam. Ada yang menemukan alat batu, ada juga yang menemukan tulang belulang hewan. Pada 2 September 2003, di kedalaman hampir 6 meter penggalian di kotak Wahyu mendadak berhenti. Sinar senter dan emergency lamp menyorot Di dekat dinding kotak, menyembul sesuatu. “Kita temukan pertama kali itu bagian kepalanya,” kata Wahyu.
Namun sayangnya, tengkorak itu sudah keburu tergores oleh alat penggali. “Kena di bagian atas kepala, makanya ada (bekas) garukan,” kata dia. Wahyu yang terkejut segera naik ke atas. Ketua Tim Penggalian Thomas Sutikna tidak ada di lokasi. Ia sedang demam. Beristirahat di hotel di kota. Dua anggota tim senior yang ada di lapangan adalah Rokhus Due Awe, pakar fosil, dan Jatmiko.
“Saya tidak pernah punya pengalaman menangani temuan ini, tapi saya tahu ini temuan yang amat penting,” kata Wahyu lebih lanjut. Ia bertanya ke Rokus. “Pak Rokus, ini saya temukan seperti ini, kayaknya kepala. Bener, enggak, ini manusia?”
Pak Rokus langsung turun ke dalam kotak sedalam 6 meter. “Padahal, jarang sekali Pak Rokus itu turun karena dia di atas analisis temuan.” Dengan pencahayaan yang temaram, Pak Rokus mengonfirmasi temuan tengkorak yang menyembul itu. “Benar ini manusia. Tapi kecil!”
Wahyu mengaku saat itu ia senang sekaligus khawatir. Senang karena itu adalah temuan penting dan terlihat lengkap. Khawatir karena ia belum pernah memegang artefak semacam itu. Ia tidak berani mengutak-atik lebih lanjut temuan tengkorak tersebut. Ia meminta rekannya Jatmiko untuk mulai mengorek-korek tanah di sekitar tengkorak. Pelan-pelan makin tersingkap tengkorak individu yang diberi kode Liang Bua 1 (LB1) itu. Bagian dahinya sangat menonjol. “Ini pasti purba,” kata dia.
Wahyu memilih memegang kamera untuk dokumentasi temuan. Saat itu belum ada kamera digital. Setelah beberapa kali foto, ia sempat ragu apakah fotonya berhasil atau tidak. Tuntas kerja lapangan, Wahyu bergegas ke Kota Ruteng untuk mencetak foto temuan. Sialnya, toko langganan cetak foto sudah tutup. Akhirnya ia kembali ke hotel, bertemu dengan Ketua Tim Penggalian.
“Saat kita beritahu Pak Thomas kaget. Habis itu dia tidak bisa tidur, padahal sedang demam,” kata Wahyu menggambarkan. Hari selanjutnya. seluruh tim semangat kembali ke Liang Bua. Mereka pagi pagi sekali berangkat. Temuan rangka segera dibersihkan dan diangkat seluruhnya beserta tanah untuk kemudian dibersihkan dan dikonservasi.
‘Hobbit’ Flores itu kemudian dibawa ke Jakarta. Keluar-masuk laboratorium hingga ke rumah sakit. Wahyu mengatakan ia membawa kerangka hampir utuh itu ke RS Fatmawati untuk dilakukan CT scan. “Hampir tidur di RS, karena selesai sekitar pukul 01.00 WIB,” kata dia.