Jumat 15 Sep 2023 10:37 WIB

Sampai Kapan Tagar 'Percuma Lapor Polisi' Berhenti?

Ngoceh di media sosial lebih efektif dibanding lapor polisi.

Jika polisi tidak menanggapi dengan baik pelaporan masyarakat, maka mereka akan lebih percaya pada media sosial. Foto ilustrasi.
Foto: pixabay
Jika polisi tidak menanggapi dengan baik pelaporan masyarakat, maka mereka akan lebih percaya pada media sosial. Foto ilustrasi.

Oleh : Eko Supriyadi, Redaktur Medsos Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Malang betul nasib Mega Suryani Dewi (24 tahun), ia tewas di tangan suaminya sendiri, Nando, seusai mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Peristiwa yang terjadi di Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, ini bikin geger warga Bekasi.

Penyebabnya karena cekcok masalah ekonomi. Mega ditampar hingga diseret ke dapur sebelum lehernya disayat oleh Nando dengan pisau dapur. Namun, penganiayaan itu bukanlah peristiwa pertama yang dialami Mega. Ia pernah melapor ke polisi soal KDRT yang dialaminya, dan itu dibenarkan oleh kakak korban, Deden Suryana.

Namun, Deden bilang, polisi menyetop kasus tersebut karena Nando menyangkal perbuatan kejinya kepada Mega. Hingga akhirnya, Mega meninggal di tangan Nando.

Juli lalu, ada seorang ibu-ibu dibegal seusai pulang berbelanja di kawasan Bantar Gebang, Bekasi. Badriyah harus kehilangan motornya seusai dirampas begal pagi-pagi. Kasus ini sempat ramai lantaran Badriyah diminta polisi untuk kembali, dan memberikan bukti foto TKP sendiri saat melapor.

Padahal, semestinya polisi menerima laporan dan menemani Badriyah ke TKP untuk menunjukkan lokasi kejadian. Bukan malah meminta korban untuk ke lokasi sendiri dan kembali lagi untuk melapor. Kisah ini ramai di media, kemudian polisi memproses kasus ini dengan serius.

Pak Polisi, mau sampai kapan tagar percuma lapor polisi akan terus digaungkan warganet? Sekarang, fenomena warga melapor ke warganet lebih marak dibandingkan datang ke kantor polisi. Saat ini, warga lebih sering mengadu ke Twitter dengan kata-kata 'sakti', 'Twitter, do your magic'. Pengaduan-pengaduan masyarakat juga biasanya ada yang langsung ke influencer, agar diviralkan kasusnya.

Masih ingat kasus AKBP Achiruddin Hasibuan? Di mana anaknya menganiaya mahasiswa bernama Ken Admiral. Kasus ini terjadi pada Desember 2022, di rumah Aditya Hasibuan. AKBP Achiruddin pun menyaksikan sendiri anaknya memukuli Ken. Peristiwa penganiayaan terjadi pada 21 Desember 2022, dan korban langsung melapor ke polisi keesokan harinya.

Selama empat bulan, tidak ada kejelasan dari kasus tersebut. Hingga akhirnya, ada influencer yang memviralkan kasus tersebut. Tak butuh waktu lama. Aditya Hasibuan ditangkap. AKBP Achiruddin itu ikut terseret dalam kasus ini karena membiarkan anaknya menganiaya orang lain.

Fenomena masyarakat lebih memilih mengadu ke media sosial bukti betapa putus asanya mereka terhadap cara polisi merespons laporan. Stigma lapor polisi harus bayar, lambat diproses hingga dilayani dengan tak ramah masih melekat kuat. Bahkan, pernah ramai soal candaan lebih baik polisi diganti dengan Satpam BCA, yang terkenal ramah saat melayani pelanggan.

Jangan kita bandingkan dengan pejabat, artis atau orang kaya yang melapor polisi ke Mabes Polri atau Polda Metro, di mana mereka dilayani dengan baik. Tapi coba lihat bagaimana polsek-polsek menangani laporan atau pengaduan masyarakat. Polisi seharusnya tidak 'boleh' terima beres saat menerima laporan, dengan dalih minta bukti atau saksi terlebih dahulu.

Kasus Mega di Cikarang semestinya bisa dihindari jika polisi memberikan edukasi kepada Nando. Bukan sekadar ketika laporan dicabut, lalu lepas tangan. Sebab, kita tidak tahu, apakah Mega mencabut laporannya di bawah ancaman Nando atau tidak. Kalau sudah begini, ke mana lagi kami harus melapor, Pak Polisi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement