REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengatakan polusi udara yang menyelimuti berbagai kota adalah siklus alam yang terjadi setiap tahun akibat musim kemarau.
"Polusi udara saat ini adalah siklus alam karena kekeringan, sehingga partikel polutan berterbangan," ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Handoko menuturkan musim kemarau membuat suhu udara lebih panas dan daratan menjadi kering. Kondisi itu menghasilkan listrik statis yang membuat polutan lebih lama mengambang di udara dan tidak bisa turun ke tanah.
Menurut dia, polutan hanya bisa luruh melalui bantuan air hujan. Cara generik yang dapat dilakukan saat ini adalah menciptakan hujan buatan melalui teknologi modifikasi cuaca.
"Polutan tidak bisa turun dan yang bisa menurunkan polutan itu hanya hujan, makanya kami membasahi dengan teknologi modifikasi cuaca. Itu jalan pintas," kata Handoko.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa teknologi modifikasi cuaca harus dilakukan secara bijak dan hati-hati karena operasi itu bagian dari intervensi terhadap alam.
BRIN menggelar operasi teknologi modifikasi cuaca itu berdasarkan instruksi BNPB, Kementerian LHK, dan pemerintah provinsi. "Teknologi modifikasi cuaca tidak ada dampak terhadap lingkungan. Itu siklus alam, kami tidak ingin mengatur alam sesuka hati," pungkas Handoko.
Selain hujan buatan, Indonesia juga memakai teknologi generator kabut untuk meluruhkan polutan yang beterbangan di udara.
Alat itu dipasang di atas gedung-gedung tinggi untuk mengurangi konsentrasi PM2,5 secara lokal karena mampu menghasilkan semburan air dengan ukuran yang halus dan mengikat polutan agar meluruh ke permukaan tanah.